Lihat ke Halaman Asli

Kemasan Kearifan Lokal Kampung Adat Sade

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar

[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jalan di Dusun Sade, Lombok, NTB"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Nampang di Depan Dusun Sade, Lombok"]

Gambar

[/caption] Tidak perlu diragukan lagi. Indonesia sangat kaya potensi wisatanya. Banyak hal yang dapat digali dan “dijual” dari pariwisata Indonesia. Selain panorama alam nan indah, pantai yang menjuntai elok, gunung nan eksotis, masih pula dilengkapi dengan beribu adat istiadat dan budaya khas masing-masing daerah. Dari ujung Aceh hingga ujung Papua, tidak terhitung banyaknya potensi wisata yang dapat dieksplor. Sungguh mengagumkan. Hanya sayang seribu sayang, Indonesia masih tertatih-tatih dalam menata manajemen pengelolaan dan pengemasan pariwisatanya. Sesungguhnya banyak destinasi wisata yang bila dipoles lebih baik, dikemas lebih cantik, akan sangat potensial untuk “dijual”, untuk menarik hati para pelancong. Contohnya adalah salah satu destinasi wisata di Pulau Lombok, Kampung Adat Sade, sebuah kampung adat tradisional Suku Sasak Sade. Dusun Sade atau Sade Village terletak di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Biasanya, destinasi wisata ini kerap dikunjungi sebelum menggapai destinasi wisata lainnya di Lombok, yaitu Pantai Kuta Lombok. Dusun Sade merupakan sebuah perkampungan Suku Sasak asli yang hingga sekarang masih mencoba bertahan dengan mempertahankan kearifan lokal yang dimilikinya. Suku Sasak yang tinggal di Dusun Sade masih kental dan teguh menjaga nilai-nilai budaya dan adat tradisi Sasak asli. Berkunjung ke Dusun Sade, jadi teringat sebuah desa di Pulau Bali yang juga mengusung wisata desa adat, yaitu Desa Panglipuran yang pernah saya tulis juga di Penglipuran, Desa Adat Bali dengan Kearifan Lokal yang Kental. Hanya, kondisi lingkungannya berbeda. Desa Penglipuran di Bali tertata dengan apik, dengan konsep arsitektural yang menawan sedangkan Dusun Sade, kurang tertata rapi, sedikit terkesan kumuh. Tapi, mungkin, itulah ciri khas dusun adat Sasak. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Pemandu lokal di Dusun Sade"]

Gambar

[/caption] Memasuki Dusun Adat Sade, kita langsung disambut oleh pemandu wisata lokal yang akan menjelaskan hal-hal terkait Dusun Sade. Terdapat sekitar 700 warga yang tinggal di Dusun Sade yang menempati sekitar 150 rumah yang ada. Mereka masih mempertahankan adat istiadat sisa kebudayaan Sasak sejak jaman Kerajaan Pejanggik. Umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani dan memeluk Agama Islam. Kaum perempuannya memiliki keterampilan menenun secara turun temurun. [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Rumah-rumah adat Sasak di Dusun Sade"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Jalanan sempit dan berundak"]

Gambar

[/caption] Dusun Sade memiliki keistimewaan tersendiri. Memiliki adat istiadat yang dapat menjadi daya tarik wisata. Arsitektur rumah adat khas Sasak memiliki filosofi yang kuat. Misalnya, setiap bangunan memiliki pintu rumah yang relatif pendek sehingga setiap orang yang ingin memasuki rumah harus menundukkan kepalanya. Dibuat seperti itu dengan filosofi agar setiap orang yang hendak memasuki rumah menghormati dan menghargai pemilik rumah atau yang tinggal di rumah tersebut. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Para pengunjung di antara rumah-rumah adat"]

Gambar

[/caption] Rumah-rumah yang ada di Dusun Sade cukup padat, hampir berdempetan atau setidaknya memiliki jarak yang sangat dekat. Rumah-rumah dipisahkan oleh gang-gang kecil sehingga hanya dapat dilalui oleh orang dengan berjalan kaki. Rumah adat Suku Sasak terbuat dari kayu dengan dinding dari anyaman bambu. Atap rumahnya terbuat dari daun rumbia atau alang-alang kering. Ada yang menarik. Lantai rumah Suku Sasak merupakan campuran tanah, abu jerami, dan getah pohon, lalu diolesi dengan kotoran kerbau. Mereka mengepel lantai dengan menggunakan kotoran kerbau. Bau kotoran kerbau ketika masih baru diolesi ke lantai masih tercium. Namun, akan hilang sekitar 3 jam kemudian, bila sudah kering. Tradisi mengepel lantai dengan kotoran kerbau masih terjaga hingga kini. Ketika ditanya alasannya, mereka mengemukakan bahwa dengan mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau, rumah tersebut aman dari gangguan nyamuk maupun serangga lainnya. Hal menarik lainnya, di rumah-rumah Suku Sasak selalu ada lumbung padi, berupa bangunan untuk menyimpan padi, hasil panen. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Wanita tua yang menjajakan hasil tenunannya di depan rumahnya yang kecil"]

Gambar

[/caption] Besarnya rumah terkait dengan penghuninya. Bagi pasangan yang baru menikah, rumah yang dimiliki tidak seluas rumah yang ditempati oleh keluarga yang telah memiliki anak. Demikian pula rumah bagi orang yang sudah tua, cukup menempati rumah yang kecil. Tradisi gotong royong masih terasa kental di sana. Budaya gotong royong nampak pada saat pembangunan rumah salah satu warga atau pada saat perbaikan rumah salah satu warga yang mengalami kerusakan. Budaya gotong royong yang saat ini sudah mulai memudar, menjadi salah satu kearifan lokal yang patut ditiru. [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Wanita tua tengah memintal benang, tidak mampu menenun karena penglihatannya sudah buruk"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Mantan penenun, sedang memintal benang"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Menatap masa tua"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Penenun kecil, masih umur 9 tahun"]

Gambar

[/caption] Setiap wanita Suku Sasak memiliki keterampilan menenun. Keterampilan menenun sudah diajarkan sejak kecil. Seorang perempuan Sasak tidak diperkenankan menikah jika belum bisa menenun. Anak-anak umur sekitar 9-10 tahun sudah mahir menenun. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Menjajakan souvenir di atas meja sederhana"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Aneka kain tenun khas Lombok"]

Gambar

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Kain tenun khas Lombok"]

Gambar

[/caption] Di Dusun Sade, hampir setiap rumah menjual hasil kerajinan baik berupa kain tenun, selendang, kaos, patung-patung, gelang, kalung, asbak, tempat buah, gantungan kunci, dan aneka souvenir lainnya. Mereka menjajakan oleh-oleh khas Lombok di depan rumah dengan menggelar meja atau pada bangunan khusus. Seandainya keunikan dan kekhasan Dusun Sade dapat dikemas secara lebih menarik, lebih tertata, dan diberikan sentuhan penanganan yang lebih terarah, bukan tidak mungkin Dusun Sade dapat menarik lebih banyak lagi wisatawan yang berkunjung. Potensi yang ada sangat besar. Banyak hal menarik yang dapat digali dan menjadi bahan pelajaran bagi yang lainnya. Mungkin dapat dibuat paket wisata “mengenal lebih dekat Suku Sasak” dengan mengemasnya secara lebih lengkap. Mengenal adat istiadatnya, budayanya, kearifan lokalnya, dan orang-orangnya. Tidak hanya membuka lapak-lapak tempat penjualan souvenir dan oleh-oleh khas Lombok. Banyak budaya yang dapat diperkenalkan dan dipertontonkan, misal belajar menenun, penampilan tari tradisional Suku Sasak, cara bertanam, pemutaran film tentang Suku Sasak, dan budaya khas Suku Sasak lainnya. Pulau Lombok memiliki budaya yang menarik, seperti halnya legenda Putri Mandalika dengan tradisi “bau nyale” nya. Wisatawan dapat dibawa terlibat langsung dalam pengenalan Suku Sasak. Semoga Pemerintah Provinsi NTB dan Kementerian Pariwisata dapat menggarap Dusun Sade secara lebih apik, mengemasnya dengan lebih cantik. (Del)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline