Lihat ke Halaman Asli

Merauke, Miniatur Indonesia di Timur Papua

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandara Mopah, Merauke

[caption id="attachment_2257" align="aligncenter" width="300" caption="Bandara Mopah, Merauke"] [/caption] Telah lama mendamba untuk dapat melakukan kunjungan ke Merauke, Kabupaten paling Timur Indonesia. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea. Selain memiliki keindahan alam nan mempesona, pantai yang panjang, rimbunnya hutan nan asri, musamus, dan keaneka ragaman hayati lainnya, Merauke juga dikenal memiliki beragam suku asli dengan adat istiadat yang menarik. Tidak hanya itu. Merauke merupakan miniatur Indonesia, etalase Indonesia dalam skala yang lebih kecil. Semua suku ada di sana. Bermacam suku dengan adat istiadat bawaannya seakan tumpah ruah, bersatu padu tanpa harus bersusah payah mempropagandakan slogan “Kebhinekaan dalam Kesatuan”. Semua hidup berdampingan, saling menghormati satu sama lain. Jika ditanya, “Wilayah mana yang paling aman di Papua?” Jawabannya sudah pasti Merauke. Ketika wilayah lain di Papua sering dilanda kerusuhan dan saling selisih antarsuku, Merauke tetap aman dan damai. Semua suku, tidak perduli dari mana dia berasal, hidup selaras dengan alam Merauke. Semua memiliki peran dan fungsi masing-masing. Kabupaten Merauke merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Papua yang terletak di bagian Selatan Provinsi Papua. Berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea di Sebelah Timur dan Laut Arafura di sebelah Selatan. Secara geografis, Merauke memiliki prospek pengembangan yang tinggi. Memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu 45.071 km2. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang hanya memiliki luas sekitar 661,52 km2. Kabupaten Merauke memiliki luas sekitar 68 kali luas Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data per tanggal 31 Desember 2012, jumlah penduduknya hanya 246.852 jiwa dengan kepadatan 4.342 jiwa/km2. Kembali bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang memiliki jumlah penduduk 10.187.595 jiwa dengan kepadatan sekitar 15.000 jiwa/km2. Sangat jauh berbeda. Walaupun Jakarta dan Merauke memiliki jurang perbedaan yang sangat mencolok, namun terdapat garis merah yang menampakkan kesamaan. Sama-sama merupakan miniatur Indonesia. Jakarta dan Merauke sama-sama dihuni oleh berbagai macam suku, dari berbagai lokasi di Indonesia. Tidak sulit untuk menemukan orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, atau Maluku di Merauke. Di Kota Rusa, julukan untuk Kota Merauke, kita dapat dengan mudah menemui Suku Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Makassar, Timor, Batak, Manado, Banjar, Dayak, hingga Aceh. Berdasarkan data yang ada, 63 % penduduk Merauke merupakan pendatang, bukan suku asli. Sebagian besar pendatang, merupakan Suku Jawa. Keragaman penduduk di Merauke salah satunya disebabkan adanya program transmigrasi yang berlokasi di pinggiran Merauke, terutama di Distrik Kurik, Tanah Miring, Malind, dan Distrik Jagebob. Penduduk asli Merauke adalah Suku Marind, yang terdiri dari sub-marga : Kaize, Gebze, Balaigeze, Mahuze, Ndiken, dan Basik-basik. Kabupaten Merauke didominasi oleh dataran rendah yang relatif datar. Hanya pada bagian Utara yang memiliki lahan perbukitan. Itu pun dengan ketinggian yang tidak lebih dari 100 meter di atas permukaan air laut. Pengembangan Merauke sangat memungkinkan. Pembangunan tidak akan sulit dilakukan karena ketersediaan lahan masih sangat luas dan sebagian besar relatif datar dengan kemiringan antara 1 – 8 %. Merauke relatif mudah terjangkau karena keberadaan Maskapai Garuda maupun Lion yang langsung terbang dari Jakarta menuju Merauke. Dengan Garuda Indonesia, kita hanya perlu singgah di Jayapura sebentar, sekitar 40 menit, untuk kepentingan pengisian bahan bakar, sebelum melanjutkan penerbangan ke Merauke. Total perlu waktu sekitar 6 jam perjalanan pesawat. Mendarat sekitar pukul 10 pagi WIT di Bandara Mopah, Merauke, kita langsung dapat merasakan keragaman. Terlihat dari wajah-wajah di sekitar Bandara. Para petugas di Bandara didominasi oleh wajah bukan penduduk asli. Para petugas banyak yang berkulit putih hingga sawo matang. Wajah-wajah penduduk asli hanya terlihat beberapa. Menaiki taksi dari Bandara menuju hotel tempat menginap, keragaman tetap muncul. Sopir yang mengantar berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur. Begitu pula dengan resepsionis Swiss-Belhotel Merauke, iseng tanya, ternyata berasal dari Surabaya, Pati, Solo, dan beberapa kota di Jawa Tengah lainnya. Istirahat sebentar di hotel, dengan menaiki mobil yang sama, jalan keliling Merauke mencari makan siang. Ternyata di Merauke banyak terdapat restauran Padang. Terdapat beberapa restoran Bakso Malang, Soto Lamongan, Pecel Madiun, Coto Makassar, dan restoran khas daerah lainnya. Justru agak sulit untuk menemukan rumah makan khas Papua. Tidak terlalu banyak tempat makan yang menyediakan khusus makanan khas Merauke atau Papua. Padahal niat hati ingin juga menikmati papeda, sate rusa, dendeng rusa, udang Merauke, atau makanan khas Merauke lainnya. Baru malam harinya keinginan tersebut terwujud. [caption id="attachment_2258" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama penduduk asli Merauke"]

Bersama penduduk asli Merauke

[/caption] Perjumpaan dengan kemajemukan penduduk Merauke masih terus berlanjut. Dibuktikan dengan petugas supermarket yang asal Sukabumi, pedagang buah asal Semarang, pedagang jajanan di pinggir jalan yang asal Lampung, pemilik toko souvenir yang keturunan Tionghoa namun lahir serta besar di Merauke dan orang tuanya berasal dari Surabaya, atau pramuria toko souvenir Batik Papua yang ternyata memiliki kampung yang sama dengan saya, Ciamis. Selidik punya selidik, dengan bertanya lebih lanjut, ternyata orang Ciamis tersebut belum pernah pulang ke Ciamis. Dia lahir dan besar di Merauke. Orang tuanyalah yang berasal dari Ciamis. Dulu orang tuanya termasuk salah seorang transmigran. Belum berhenti di sana. Acara Workshop yang jadi tujuan kedatangan saya ke Merauke juga memberikan bukti keberagaman. Peserta yang hadir banyak yang berasal dari luar Papua. Bahkan memiliki daerah asal yang lebih berwarna. Lengkaplah sudah bukti keragaman itu. Kebhinekaan yang ada tentunya sangat berpengaruh pada pengembangan budaya masing-masing etnis yang ada sekaligus menjadi wahana untuk saling mengenal dan mempelajari keragaman budaya dan adat istiadatnya. Saling menghormati, saling menghargai, dan toleransi yang tinggi, merupakan syarat mutlak dimiliki di Merauke, satu Kabupaten di ujung timur Indonesia yang menyimpan keindahan dalam keberagaman. Jika belahan Indonesia lainnya juga dapat menerapkan prinsip hidup berdampingan dengan damai seperti di Merauke, sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya slogan belaka.. Alangkah indahnya Indonesia... (Del)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline