Lihat ke Halaman Asli

Delfy HenyngPramudya

Saya adalah mahasiswa

Menguak Akar Gerakan Boikot Israel dan Bagaimana Dunia Berpihak

Diperbarui: 13 Juni 2024   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semenjak aksi Israel yang menyerang Rafah, Palestina yang merupakan daerah aman dalam peperangan dan melanggar ketentuan yang membuat dunia marah atas aksi yang diambil Israel, banyak konsumen yang mulai menyerukan aksi untuk boycott produk-produk yang berhubungan dengan Israel. 

Aksi ini juga semakin didengungkan dan gencar dipromosikan hingga sampai ada aplikasi yang mendeteksi apakah produk tersebut mendukung Israel atau berhubungan dagang dengan Israel. Aplikasi tersebut adalah "No, Thanks". Cara kerja aplikasi ini adalah dengan men-scan barcode produk dan langsung dapat diketahui apakah produk tersebut berafiliasi kepada Israel atau tidak.

Gerakan boycott merupakan gerakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk menolak membeli, menggunakan, atau berurusan dengan produk, layanan, atau entitas tertentu sebagai bentuk protes atau tekanan. Tujuan dilakukan boycott ini adalah sebagai bentuk protes terhadap kebijakan, tindakan, atau praktik sebuah badan, organisasi, atau Negara dan memaksa perubahan melalui penekanan di bidang ekonomi dan reputasi.

Gerakan boycott terhadap produk Israel ini sebenarnya telah diserukan sejak tahun 2005 oleh salah satu penduduk Qatar yang tidak setuju atas tindakan semena-mena Israel. Meki sudah dari lama didengungkan, gerakan ini semakin gencar dilakukan semenjak kejadian yang ada di Rafah yang membuat gerakan ini harus semakin digencarkan.

Gerakan ini mendapat pandangan pro kontra dari berbagai pihak. Tak sedikit pandangan bahwa gerakan boycott adalah gerakan omong kosong yang didasarkan pada pemahaman bahwa meski gerakan ini sudah digencarkan dari tahun 2005, tetapi tetap juga tidak membuat Israel bangkrut dan penindasan terhadap Palestina tetap terjadi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Xavier, Amerika Serikat, penelitian ini dilakukan dengan meneliti lima belas perusahaan publik yang pernah mengalami boikot konsumen dalam 12 tahun terakhir dengan menggunakan informasi yang tersedia untuk umum yang terdapat di situs web masing-masing perusahaan, NASDAQ, dan Ethical Consumer, dihasilkan kesimpulan bahwa boycott dapat menyebabkan penurunan penjualan dan pendapatan produk yang diboikot, yang dapat berdampak negatif terhadap kinerja keuangan dan profitabilitas perusahaan.

Dari hasil itu dapat menjadi senjata agar dapat melumpuhkan perekonomian Israel dan membuat reputasi produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. 

Sehingga menjadi bukti bahwa dunia tidak diam saja terhadap aksi genosida yang dilakukan Israel. Banyak sekali Negara, baik Negara Muslim atau bukan Negara muslim, yang mendukung aksi boycott ini karena menjadi respon ketidaksetujuan atas tindakan penindasan yang dilakukan Israel.

Salah satu persahaan yang terkena dampak dari aksi boycott ini adalah McDonal's. McDonald's tercatat mengalami penurunan harga saham sekitar 280 dollar AS menjadi hampir 240 dollar AS per saham di titik terendah. 

Penurunan ini selain juga diakibatkan karena boycott juga akibat sentimen buruk yang melingkupi sistem pembagian keuntungan dan penggunaan keuntungan yang ternyata digunakan untuk dana Israel dalam melakukan aksi genosida. Selain itu, banyk perusahaan lain yang mengalami dampak penurunan harga saham, seperti Starbucks, BurgerKing, Unilever, dan lain-lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline