Lihat ke Halaman Asli

Suka atau tidak suka!

Diperbarui: 24 Mei 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suka atau tidak suka

                

                Sekarang kita berjuang untuk hal baru yang mungkin bagi sebagian orang bukan hal baru karena sejak lama telah terbiasa dalam situasi pandemik. Tapi pandemik virus Corona ini viral mengisi otak sekian bulan lamanya. Bukan hal mudah menghadapi sesuatu yang berbahaya dan mengancam hidup. Sesuatu yang tidak terlihat dan belum ditemukan obat penangkalnya, mungkin dengan obat-obatan tradisional solusinya. Tapi ya itu menjadi self-denial terhadap kenyataan. Nyatanya hingga tulisan ini diturunkan, belum ada obat antivirus Corona, atau memang belum dipublikasikan yah, hmm kalo begitu kita tunggu saja.

                Menyikapi ‘teror Corona’, pemerintah sudah mengambil langkah ‘terbaik’ yang sebagian kita dapat menerimanya, dan sebagian tidak a.k.a. bingung mungkin yah. Langkah, yang bila dapat dikatakan, “semi-lockdown” atau bahasa Pakdhe Jokowi “PSBB” ini tepat diambil mengingat belum ada langkah strategis terbaik untuk mengatasi pandemik ini. Apa ada langkah yang terbaik? Hmm saya ragu kalo ada, karena semua negara akan melakukan hal yang sama dalam penanganannya. Kenyataannya tidak. Setiap negara punya langkah penganannya masing-masing yang perlu disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Saat pandemi Corona merebak pertama kali di Cina, pemerintah Cina menggunakan langkah lockdown kepada wilayahnya yang terdampak. Masyarakatnya taat mengikuti langkah pemerintah, kalo tidak ya bisa di smackdown, habis perkara! Terkesan brutal ya, sadis. Tapi pelaksanaan hukum perlu menerapkan konsekuensi yang jelas dan mudah dipahami di alam bawah sadar masyarakatnya, jangan setelah banyak yang ke alam baka baru paham maksudnya. Deg-deg serrr gimana gitu bacanya!

                 Melalui PSBB yang dicetuskan oleh Pakdhe Jokowi, slogan “Tetap di rumah saja” seharusnya menjadi harapan kita bersama mengatasi penyebaran virus pendemik ini. Kita? Kamu aja kali! Hmm, mungkin tidak semua dikatakan ‘kita’ mau mengatasi ini, entah karena faktor ketidaksukaan terhadap pemerintah, atau sikap arogansi tersembunyi manusia yang menganggap pandemi ini dapat diatasi olehnya sendiri, superman saja kalah dengan Cryptonite, hadeh! Alhasil slogan “tetap di rumah” menjadi “tidak di rumah”. Belanja di pasar dengan menawar ikan bawal yang terlihat segar, baru dikeluarkan dari tempat pendingin dibawah meja sajian si penjual, dibolak-balik emak-emak yang bingung memilih antara membeli ayam atau ikan, dan ikan malang itu ditinggal begitu saja bila harga tidak cocok. Entah apakah ikan itu terdampak si Corona atau tidak, kemudian terjadi kesepakatan harga antara si penjual dengan si emak yang memutuskan kembali untuk membeli ikan idaman itu. Si penjual turut menyertakan kembalian lima ribu rupiah kepada si emak dan si emak menerima ikan di dalam kantong plastik hitam berukuran kecil. Entah uang kembalian dan plastik itu terpapar si virus atau tidak. Tidak ada yang tahu! Namun begitulah kira-kira untaian aktivitas tersebarnya si Corona.

                Apa yang salah dengan itu semua? Mungkin terbersit dalam pikiran pembaca. Apa salahnya belanja atau beraktifitas bila sudah mengenakan masker persis seperti yang dianjurkan pemerintah? Itu artinya kita tidak menyalahi aturan kan? Benar. Kita tidak menyalahi aturan. Tapi jujur lah dalam diri kita bahwa social distancing atau lebih jelasnya physical distancing sebenarnya merupakan kunci harapan dari pemberlakuan PSBB, semi-lockdown, lockdown, atau apapun namanya yang tengah diusahakan negara-negara di seluruh dunia untuk diterapkan ke dalam sistem masyarakatnya.

                Berita-berita yang menunjukkan masih banyaknya kerumunan orang di pasar, restoran siap saji, warung kopi, dan beberapa tempat lainnya di tengah PSBB adalah bentuk keresahan sebagian kita yang ingin melewati situasi pandemi ini segera mungkin dan menerapkan physical distancing sebagai tindakan ‘terbaik’ menghentikan virus pendemik ini. Terbaik? Ya. Apakah ada cara lain? Mungkin, tapi apakah itu akan menjadi yang terbaik? Tidak ada yang tahu. Physical distancing sebagai kunci harapan mengatasi pandemik ini dianjurkan untuk dilakukan. Ya! Dianjurkan. kita dianjurkan untuk beraktifitas di rumah saja atau stay at home. Tapi kok stay at home terkesan dipaksa ya? Wah kalo terkesan paksaan sesungguhnya langkah PSBB atau apapun namanya itu telah gagal diterapkan. Mengapa? Karena langkah ini berarti tidak menyentuh kesadaran orang. Tahu apa itu stay at home tapi tidak paham kegunaannya untuk diri. Memang mengetahui belum tentu memahami, begitulah kira-kira yang bisa dikatakan.

                Membentuk kebiasaan ­physical distancing memang perlu ruang dan waktu. Beraktivitas di rumah dengan melakukan pola hidup bersih sebagai ruang ­physical distancing juga perlu waktu. Sampai kapan? Dua minggu? Sebulan? Hanya kita yang dapat mengukurnya.

                "Bekerja di rumah" menjadi slogan berikutnya. Pada awalnya, anjuran bekerja di rumah bagi sebagian kita terasa baru bahkan terasa sangat mendebarkan karena slogan itu seperti memberi dua arti, bekerja dari rumah dan tetap digaji atau bekerja dari rumah dengan pesangon dalam genggaman. Ternyata slogan itu benar-benar bermakna ganda. Miris mengetahui hal ini. Siapa bisa menahannya! Bekerja dari rumah telah menjadi realita dunia tak terelakkan saat ini. Dituntut beradaptasi terhadap situasi. Diarahkan Sang Pencipta menemukan makna dari situasi ini, suka atau tidak suka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline