Lihat ke Halaman Asli

Cerita di Hari Raya Idul Adha

Diperbarui: 21 Juni 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Hari Raya Idul Adha hari kedua selalu membawa kesibukan yang berbeda dari hari biasanya. Pagi itu, suasana di rumahku sedikit riuh dengan suara persiapan ibuku yang hendak berangkat membantu di tempat pemotongan hewan kurban. Ayah dan kakakku sudah lebih dulu berangkat, membawa peralatan yang dibutuhkan untuk pemotongan dan distribusi daging.

Sementara itu, aku menjaga toko di rumah. Dari pagi belum sempat memasak, dan rasanya tidak begitu lapar karena di rumah masih banyak camilan. Setiap beberapa waktu, ibuku pulang ke rumah membawakan aku camilan yang disuguhkan di tempat pemotongan. Awalnya, aku pikir itu hanya kebetulan saja. Ada gorengan hangat, biscuit manis, dan jajanan pasar yang menggiurkan. Semuanya terasa lezat, membuatku merasa kenyang dan senang.

Waktu menunjukkan siang hari ketika proses pemotongan hampir selesai. Ibu kembali pulang, kali ini dengan wajah sedikit cemas. "Kamu sudah makan apa belum?" tanyanya sambil meletakkan bungkusan terakhir berisi kue-kue tradisional. Aku tersenyum dan mengangguk, menjawab bahwa aku baik-baik saja dan tidak merasa lapar.

Namun, perasaan ibu kepada anaknya memang begitu dalam. Meskipun aku merasa kenyang dengan camilan, ibuku tetap khawatir karena dari pagi belum ada makanan berat yang masuk ke perutku. Dengan cekatan, ibuku mulai memasak daging kurban yang didapatkan dari hari sebelumnya. Bau harum mulai menyebar di seluruh rumah, menambah kehangatan suasana Idul Adha.

Sementara itu, temannya ibu datang, mengajak ibu untuk segera makan di rumah yang dijadikan posko distribusi daging. Namun, ibu menolak dengan halus. "Ibu bisa saja makan sampai kenyang di sana, tapi anak ibu belum tentu makan," katanya lembut kepadaku. Mendengar itu, hatiku terasa hangat. Ternyata, begitu besar cinta ibu kepadaku. Padahal, aku sendiri merasa kenyang dengan banyaknya camilan di rumah.

Proses memasak daging itu memakan waktu cukup lama. Orang-orang di posko bahkan sampai membawakan makanan ke rumah karena tahu ibu masih sibuk memasak. Gulai yang dibawakan adalah makanan kesukaanku, dan aku diam-diam memakannya hingga kenyang.

Meski begitu, aku tetap menghargai usaha ibu. Masakan ibu yang sudah susah payah dibuat terasa sangat spesial, meski rasanya sedikit over asin. Tanpa ragu, ibu segera menemukan solusi untuk mengatasi keasinan masakannya, menunjukkan betapa hebatnya ia dalam segala hal.

Hari itu, aku belajar banyak tentang cinta dan pengorbanan seorang ibu. Meski terkadang perasaannya tidak selalu tersampaikan dengan kata-kata, tindakan kecil seperti membawakan camilan atau memasak dengan penuh kasih sayang sudah cukup menggambarkan segalanya. Ibu memang hebat, dan aku bersyukur memiliki ibu seperti dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline