Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Wawancara KPM di Luar Negeri

Diperbarui: 19 Mei 2024   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Hari ini aku mengikuti wawancara Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) di luar negeri setelah dinyatakan lolos administrasi beberapa hari yang lalu. Pagi-pagi sebelum berangkat, aku merasa sangat takut, gugup, dan khawatir yang akhirnya membuat perutku mules. Aku hanya mempersiapkan materi seadanya dan hanya bisa menerka-nerka apa yang akan ditanyakan.

Saat menuju ruang wawancara, aku bertemu temanku yang juga akan melakukan wawancara, meski untuk program yang berbeda di dalam negeri. Kami berjalan bersama menuju meja absensi. Sambil menunggu giliran, kami duduk di luar ruangan, membaca dan menghafal materi yang mungkin akan keluar.

Ada lima sesi wawancara dengan materi yang berbeda. Pada wawancara pertama tentang wawasan global, pertanyaannya sedikit berbeda dari yang kupelajari. Awalnya, aku sangat percaya diri menjawab pertanyaan yang masih tergolong umum, seperti tentang ASEAN. Namun, ketika pertanyaan mulai mengerucut, seperti tentang detail negara Malaysia, aku hanya bisa menjawab sebisaku dan beberapa kali harus jujur tidak tahu. Kepercayaan diriku mulai runtuh di situ, dan aku merasa kesal dengan diri sendiri dan pengujinya.

Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan ke wawancara berikutnya, berusaha meredakan emosiku. Sambil belajar lagi, aku mendengar beberapa peserta lain berbagi tentang pertanyaan yang mereka hadapi. Cepat-cepat aku mencari jawabannya di Google. Aku merasa minder ketika melihat satu peserta yang terlihat sangat pintar dan lugas saat wawancara bahasa Inggris, membuatku berpikir dia pasti lolos. Aku mencoba legowo dengan apa yang telah kuusahakan meskipun tidak puas. Beberapa temanku juga merasa tidak puas dengan wawancara hari ini, mereka pasrah jika tidak lolos dan mencari alternatif KPM lainnya.

Semakin siang, aku mulai merasa capek karena duduk terlalu lama dan harus antre. Aku bermain HP supaya tidak bosan, karena tidak ada yang mengajakku ngobrol. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Ketika ingin melanjutkan wawancara, aku sempat berdialog dengan teman-teman lain, membicarakan kekurangan wawancara dan sikap penguji, serta berkenalan. Aku memilih melakukan wawancara yang paling mudah dulu, baru kemudian materi yang kuanggap sulit.

Pada wawancara tentang biografiku, aku sempat merasa percaya diri karena ada banyak hal yang aku banggakan, seperti menerbitkan artikel ilmiah dan menjadi penulis di Kompasiana. Menulis di Kompasiana adalah salah satu prestasi yang kubanggakan, karena kata ketua jurusanku bisa menjadi tambahan nilai akreditasi. Pengujiku terlihat antusias dan ingin melihat salah satu tulisanku. Kutunjukkan salah satu artikelnya. Di wawancara kali ini, aku mulai percaya diri lagi karena inilah kelebihanku, menulis.

Wawancara terakhir adalah yang paling susah, karena ada bocoran dari teman-teman bahwa pertanyaannya berupa pendapat masing-masing dari kasus-kasus yang mungkin belum pernah kami jumpai sebelumnya. Bermodal percaya diri, aku masuk ruangan. Ternyata, pengujinya ingin break dulu dan menyuruhku antre ke penguji lain. Aku pun menunggu lagi bersama teman-teman di depan pintu. Ketika tiba giliranku, aku duduk dan ditanya namaku serta seleksi yang diikuti. Setelah itu, aku diminta memaparkan materi moderasi beragama. Untungnya, materi tersebut sempat kutulis di Kompasiana, sehingga masih ada yang kuingat. Pengujinya mengatakan bahwa paparan yang kusampaikan cukup bagus. Aku menjawab karena materi itu adalah salah satu tulisanku di Kompasiana. Beliau memuji karena aku mampu menulis hingga seratus lebih artikel.

Pengujiku bukan malah menanyakan pertanyaan wawancara lagi, melainkan menjelaskan pentingnya moderasi beragama dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Di situ aku malah mendapat insight baru, bukan wawancara, seru sekali bisa menambah pengetahuan. Ketika ditanya tentang kaitannya moderasi beragama dengan wawasan kebangsaan, aku sempat bingung. Setelah menjelaskan, ternyata aku kurang tepat. Pengujiku mengambil alih dan menjelaskan dengan detail, hingga akhirnya aku seperti diajak diskusi antara mahasiswa dengan dosen. Aku banyak mengiyakan yang dikatakan beliau, takut kalau diberi nilai jelek. Aku juga sempat berharap percakapan ini segera usai karena sudah capek dan lapar. Akhirnya, selesai juga wawancara kali ini dan tidak seburuk yang kupikirkan di awal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline