Lihat ke Halaman Asli

Jeritan Bumi: Panggilan Terakhir dari Ibu Alam

Diperbarui: 5 Oktober 2023   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di ufuk yang jauh, bumi meratap dalam dukacita yang mendalam, merajut benang kesedihan yang tak terucapkan. Gemuruh samudera, suara gelombang yang mengguncang, memanggil dari lubuk hati alam, sebuah seruan yang tak dapat diabaikan oleh manusia.

Gunung-gunung es menangis, air mata yang membeku, mengalir deras ke lembah-lembah yang rapuh. Mereka menyanyikan lagu kepedihan, mengisahkan rindu akan masa keemasan alam. Hutan-hutan kuno menangis, dedaunan gugur dalam kesedihan, menyisakan kenangan indah yang kini menghilang dalam kabut kelam.

Mereka merindukan ketika udara masih bersih, saat matahari bersinar hangat tanpa cela. Langit yang kini kelam, menyaksikan dengan mata yang berlinang, biru cerah yang telah pudar oleh jejak-jejak manusia. Angin berbisik, membawa pesan-pesan masa lalu, memori tentang keelokan yang tak terlupakan, kecantikan yang kini terancam punah.

Tapi, manusia, janganlah melupakan akar sejarahmu yang terikat rapat dengan alam ini. Kekuatan besar ada di tanganmu, untuk memutar roda nasib. Satu langkah kecil, satu tindakan berani, dimulai dari hati yang mencintai dan melindungi, untuk bumi, rumah kita, yang terus menangis pilu.

Bumi adalah bunda yang memeluk kita dalam kandungannya, memberikan kehidupan dan melahirkan keindahan. Namun, dengan tangan kita sendiri, kita telah menggores luka dalam-dalam di hati ibu ini. Saat es mencair dan ombak membanjiri daratan, itu adalah jeritan luka bumi, panggilan terakhir dari ibu yang tersakiti. Saat hutan-hutan terbakar dan keheningan hutan digantikan oleh gemuruh kobaran api, itu adalah jeritan kesedihan alam yang terpingkal.

Mengundang kita untuk kembali ke pangkuan alam, mendengarkan bisikan angin yang membawa pesan yang menggetarkan jiwa, merasakan belaian lembut tanah di bawah telapak kaki, dan memandang keindahan alam yang masih tersisa dengan mata yang jernih. Dalam keheningan itu, mungkin terdengar suara pelan dari jantung bumi yang rapuh: "Kembalilah, manusia, dan lindungilah aku." Di tangan kita terletak kekuatan untuk memutar balik cerita, untuk menggandeng erat tangan ibu alam dan memulihkan keselarasan yang telah terkoyak.

Bersama-sama, kita bisa membawa perubahan. Mengurangi jejak karbon, menganjurkan energi yang ramah lingkungan, dan merangkul setiap wujud kehidupan adalah langkah kecil yang membawa makna besar dalam menjaga bumi ini. Dengan hati yang penuh cinta dan tekad yang bulat, kita dapat mengembalikan senyuman pada wajah ibu bumi, memastikan bahwa jeritan luka tak lagi menggema dan bahwa cinta kita akan bersemi di setiap helai rumput yang bergoyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline