Di kawasan kota Bandung bagian utara terdapat wilayah yang bernama "Ledeng" yang terletak di Kecamatan Cidadap. Awal mula penamaan Ledeng berasal dari kata Waterleiding/Leiding yang merupakan bahasa Belanda untuk "pipa besar", karena penyebutan Leiding masih asing dan susah untuk diucapkan, maka oleh penduduk setempat diubahlah menjadi "Ledeng". Saat berada di Kota Bandung, ketika mendengar kata Ledeng, sebagian orang langsung teringat terminal yang terkenal dengan pusat lalu lintasnya. Padahal di samping itu, wilayah Ledeng ternyata masih banyak menyimpan berbagai peninggalan budaya leluhur yang sampai saat ini masih dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Salah satunya adalah cagar budaya Gedong Cai Tjibadak. Gedong Cai Tjibadak merupakan salah satu bangunan tua peninggalan jaman kolonial yang memiliki fungsi dan manfaat untuk mengalirkan sumber mata air bersih kepada masyarakat Kota Bandung. Sampai saat ini sumber mata air Tjibadak masih dijadikan sebagai sumber utama perairan bagi masyarakat Kota Bandung. Gedong Cai Tjibadak juga merupakan salah satu heritage unggulan dan menjadi landmark wilayah Ledeng yang keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan agar tidak terlupakan dan hilang tergerus jaman.
Berdasarkan hal tersebut, melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2022 dengan tema Kuliah Kerja Nyata Tematik Pemberdayaan Masyarakat Berbasis SDGs Desa dan MBKM berupaya untuk mengenalkan kembali Gedong Cai Tjibadak kepada masyarakat sekitar dan khalayak umum agar eksistensinya sebagai warisan budaya lokal tetap terjaga.
Komunitas Cinta Alam Indonesia (CAI) merupakan sebuah organisasi masyarakat yang mengawasi dan mengelola keberlanjutan kehidupan alam di sekitar Ledeng, termasuk Gedong Cai Tjibadak. Dalam hal ini, kelompok 32 mahasiswa KKN Tematik Universitas Pendidikan Indonesia bekerja sama dengan komunitas CAI sebagai bagian dari Program KKN Tematik untuk memperkenalkan kembali pentingnya warisan budaya ini melalui video dokumentasi dan wawancara langsung dengan salah satu anggota komunitas CAI yaitu Saudara Nugi Herdian.
Menurut penuturan Kang Nugi, awal mula pembangunan Gedong Cai Tjibadak dimulai pada masa kepemimpinan Wali Kota saat itu yakni Bertus Coop. Pada masa awal kepemimpinan beliau, Kota Bandung tidak memiliki cukup sumber air bersih. Saat itu juga sedang terjadi wabah kolera yaitu sebuah wabah yang sebenarnya merupakan wabah penyakit kulit akibat kekurangan air bersih. Karena keadaan air yang semakin sulit maka Bertus Coop menginstruksikan Ir Heetjans yang saat itu ahli di bidang infrastruktur, untuk membangun infrastruktur mata air yang nantinya akan digunakan untuk mengalirkan air yang ada di Kota Bandung.
Sumber air Tjibadak dulunya memiliki debit air 50 liter per detik, memenuhi sekitar 80% surplus air, membantu mengakhiri wabah kolera, dan mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Gedong Cai Tjibadak diresmikan pada hari Rabu Tanggal 30 Desember 1921 yang dihadiri oleh Bupati Bandung Wiranatakusuma ke-5 beserta pejabat-pejabat lainnya.
Perjalanan Tjibadak di awal tahun 2000-an cukup panjang dalam hal revitalisasi dan upaya masyarakat untuk membangun keberlanjutan Gedong Cai Tjibadak. Sebelumnya, ada banyak partisipasi masyarakat dan kelompok dalam kegiatan terkait revitalisasi Tjibadak. Upaya gotong royong masyarakat untuk keberlanjutan kawasan Tjibadak tidak lepas dari upaya yang dilakukan untuk menjadikan Tjibadak sebagai situs cagar budaya.
Pada tahun 2018 Wali Kota Bandung Yana Mulyana mendeklarasikan Gedong Cai Tjibadak sebagai salah satu warisan cagar budaya terkait heritage yang disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat dan bertepatan dengan satu abadnya Tjibadak 1921.
Selain itu, Tjibadak juga menjadi salah satu potensi wisata yang dapat dikembangkan oleh warga sekitar. Tentunya kesadaran masyarakat tentang Sapta Pesona harus dibangun kembali, khususnya konsep kesadaran wisata pada masyarakat sekitar yang berperan sebagai tuan rumah daerah tujuan wisata dalam rangka melestarikan tempat wisata di sekitarnya sehingga tercipta situasi aman dan suasana kondusif yang pada akhirnya akan membawa nilai tambah bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, peningkatan kualitas hidup, dan pendidikan karakter.
Terakhir Kang Nugi berharap Tjibadak tidak hanya menjadi tontonan saja tetapi diharapkan bisa menjadi tuntunan bagaimana sumber air di Tjibadak sangat dibutuhkan oleh masyarakat hingga saat ini debit air di Tjibadak mulai menurun yaitu sekitar 19 liter per detik. Hal tersebut merupakan dampak dari kemunduran jaman yang semakin banyak alih fungsi lahan dan perilaku manusia yang harus dikoreksi terkait lingkungan yang ada disekitar kita.