Lihat ke Halaman Asli

Sari Novita

Imajinasi dan Logika

Mencicipi Kuliner di Ubud Food Festival

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir semua orang senang makan, apalagi bila disuruh mencicipi makanan yang dibuat dari tangan si jago masak. Orang pun sering tergoda hanya karena melihat penampilan wajah dari  makanan yang tampak menggiurkan. Istilah “Dari mata turun ke hati” sangat cocok buat pecinta makanan, dari bentuknya, orang bisa jadi penasaran mengutak-atik siapa pemasaknya, rasanya, bahan-bahan dan bumbu-bumbunya, cara memasaknya, di mana mendapatkannya, dan  asal-usulnya. Orang yang suka memasak dan doyan makan tidak sedikit berburu makanan sampai keliling dunia. Dan tidak sedikit orang asing menyukai makanan tradisional Indonesia yang kaya dengan rempah-rempah.

 

Salah satunya Janet DeNeefe (Pendiri dan Direktur food festival dan Ubud Writers dan Readers Festival) yang sejak lama mencintai dan menaruh minat besar terhadap makanan tradisional Indonesia. Ia juga punya mimpi untuk membuat festival makanan yang akhirnya terwujud pada tanggal 5 – 7 Juni 2015, Ubud, Bali dan dinamakan Ubud Food Festival. Meski  Ubud Food Festival baru kali pertama diadakan, bisa dikatakan event ini cukup sukses. Terlihat dari banyaknya pengunjung non-Indonesia dan pengunjung lokal, dan antusias pengunjung terhadap berbagai acara yang digelar; Workshop, Demo Cooking, Food Forum, Special Events, Book Launches, Markets, Food Tours, Film Screenings, Live Music dan Free Yoga yang dilakukan setiap pagi selama UFF.

Ubud Food Festival juga menjadi ajang pertemuan para Master Chef terkenal, bahkan di antara mereka tidak segan-segan saling menyaksikan Demo Cooking yang selalu dinantikan oleh pecinta kuliner. Tidak hanya Master Chef dari Indonesia saja yang menampilkan kepiawaiannya meracik rempah tradisional Indonesia, Penelope Williams dari Bali Asli menyajikan Tipat Cantok (mirip gado-gado/Ketoprak) dengan cara mengulek bumbu-bumbu begitu lancarnya. Hadir pula Janice Wong, Master Chef yang namanya telah dikenal mancanegara dan Voted Asia’s Best Pastry Chef 2013-2014,  mengeluarkan jurus-jurus kesimbangan rasa dan tekstur pastry di hadapan penonton.

Indonesia juga harus bangga karena memiliki Master Chef Rahung Nasution dan Master Chef Made Lugra yang selalu mengangkat dan menonjolkan makanan asal daerah mereka dengan rasa luar biasa nikmatnya (Rahung Nasution: Rendang dan Sambal Andaliman, Made Lugra: Sate Lilit dan Sambal Belut). Selain mereka, tampil Bara Pattiradjawane, Chris Salans, Kevindra Prianto Soemantri (22 tahun), Eelke Plasmeijer, Jon Priadi, Mandif Warokka, Chef Wan, Dave Pynt, Ryan Clift, dan Tim Bartholomew yang memasak Asam keung dan Ayam Pinadar. Di setiap akhir acara Demo Cooking selalu ada Food Testing yang tidak pernah ditinggalkan oleh para pengunjung dan juga termasuk bagian paling mengasyikan. Di pagi harinya pun tersedia  minum wine gratis dari Sababay Winery.

William Wongso dan Bondan Prakoso  juga turut andil dalam acara Ubud Food Festival yang membagikan pengetahuan tentang kuliner Indonesia di Food Forum.  Sebelum menuju ruang Food Forum, di halaman Taman Baca terdapat pasar kuliner yang setiap hari diserbu pengunjung dan tamu undangan untuk mencicipi makanan dan minuman. Ada Sushi Babi Guling, Sayan House, Keripik, Coconut oil dan produk lain, Javara, Anomali Cafe, Nasi Rainbow, Salad Bar, Alchemy, Sri Ratih yang menjual makanan dan jewelry, Coconut Crackers, masakan India, Queen’s, Pipiltin Cocoa, dan masih banyak lagi. Di halaman parkir Taman Baca, tersedia berbagai makanan dan jajanan dari Bali.

Masih di halaman/taman Taman Baca, ada pertunjukan live music dan menyediakan bantal besar untuk duduk sambil bersantai bagi para pengunjung. Tepat dekat pintu masuk, ada ruangan yang dijadikan bar dan layar untuk menonton film berbau kuliner , salah satunya film Filosofi Kopi yang juga dihadiri sutradara, produser, pemain, dan penulis skenario-nya. Selain di Jalan Raya Sangigan, kegiatan juga dilakukan di Mozaic (workshop), Casa Luna Bar (Photography workshop), Alila Hotel (writing workshop, Laksmi Pamuntjak), Taksu Spa (healthy eating workshop), Seniman Coffee Studio (coffee workshop) yang berlokasi di jalan Hanoman dan jalan Raya Ubud.

Ubud Food Festival bertujuan untuk mengangkat kekayaan masakan tradisional Indonesia tanpa mengesampingkan kuliner dari luar Indonesia. Antusias pengunjung terhadap kuliner di event ini memang luar biasa, Junior Chef, Refo bersama teman-temannya tidak pernah absen menghadiri Ubud Food Festival dan kerap berbinar-binar saat menonton Demo Cooking. Food Lovers dari Filipina merupakan salah satu yang menarik perhatian, karena tampak ambisius terhadap aneka kuliner yang terpampang di Ubud Food Festival – selalu berusaha menjadi pertama yang mencicipi masakan buatan Master Chef di acara Demo Cooking dan membeli berbagai makanan di Food Market – komentar populer mereka,”This is delicious!” Dan beberapa kali mengucapkan "Thank you, this is wonderful event," Kepada Janet. Terlihat juga, sebagian pengunjung muncul selama 3 hari berturut-turut dan mengikuti berbagai acara sesuai jadwalnya.

Bagi Janet Ubud Food Festival (UFF) yang diciptakannya bersama Mudra Swari Saraswati, merasa puas dan senang. “My dream comes true,” ucap wanita yang selalu mengenakan kebaya Bali selama UFF, sambil tersenyum. Menurut Linda Laurens sebagai Food Lovers, Festival ini merupakan kesempatan mengakomodasi masakan Indonesia agar bisa dikenal secara global. Saat ini orang suka dengan makanan western, tapi kita juga bisa mengaplikasikan kuliner Indonesia dengan standar western. Linda berharap UFF selanjutnya, kuliner buatan Master Chef saat Demo Cooking juga dijual di Food Market, sehingga pengunjung lain yang tidak mengikuti acara ini bisa menikmati masakan para master yang tidak ada yang tidak enak itu.

Rahung Nasution sebagai Master Chef, UFF merupakan kegiatan yang menarik karena bisa mempertemukan para Master Chef dengan kuliner, tradisi, teknik, dan latar belakang yang berbeda. Dan ” ini kesempatan yang luar biasa,” tutur Rahung yang mengakui belajar memasak dari Ibunya dan ibu-ibu yang lain. Seperti ucapan Rahung sebelumnya, filosofi kuliner Indonesia berbeda-beda tergantung dari daerah, karena setiap daerah memiliki leluhur, tradisi dan budaya yang juga berbeda. Perbedaan memang hadir di antara manusia, begitu pula perbedaan alam. Manusia hidup dengan perbedaan, karena mau tidak mau, mereka harus menghadapinya dan kemudian, mempelajari perbedaan itu. Dengan berbagai perbedaan -termasuk kuliner – manusia menjadi kaya dan termasuk orang-orang yang beruntung. Mempelajari aneka kuliner Indonesia juga termasuk menjaga kekayan Indonesia dan diri sendiri.

 

"Eat Locally, Fuck Globally," - Rahung Nasution.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline