Lihat ke Halaman Asli

Terorisme (Saja) Musuh Bangsa dan Negara? (Bagian 2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303980211115167811

Saya ingin mengajak kawan-kawan kompasianer untuk memikirkan ulang, untuk mengkaji kembali secara perorangan, setidak-tidaknya bertanya balik secara kritis pada diri sendiri: apa betul hanya teroris yang harus dibasmi?  Hanya karena ia dapat membunuh manusia?  Hanya karena dapat merampas hak hidup seorang anak manusia?  Hanya karena aksi teroris dengan apa pun senjata yang dipakai dapat melukai, membuat korban cacat fisik permanen dan bahkan sampai menemui ajal?   Semua itu memang mungkin.  Tapi, yang dapat menyebabkan akibat-akibat seperti itu pada diri korban, bukankah BUKAN hanya teroris dengan aksi-aksi yang terus berubah dari waktu ke waktu itu?  Bukankah tawuran pelajar, amuk massa, perkelahian antar kampung, perang antar etnis juga dapat menghasilkan korban-korban seperti telah disebutkan di atas? Yakinkah Bahwa para Teroris itu Orang-orang yang "Tak Berguna"? Bagaimanapun, teroris juga sama dengan kita, anak-anak bangsa.  Mereka juga warga negara yang boleh jadi lebih peduli daripada kita, boleh jadi lebih mikir daripada sebagian kita, boleh jadi lebih berani mengambil sesuatu tindakan konkret bagi pengupayaan terwujudnya masa depan bangsa dan negara yang membuat mereka tidak dapat tidur, yang cintanya pada bangsa berubah menjadi kebencian yang amat besar, boleh jadi jauh lebih kesatria daripada kita. Kalau pun mereka pada akhirnya mengacau ketentraman, kedamaian, keamanan negeri ini, apakah tindakan ini murni untuk mengacaukan rakyat sipil?  Saya yakin tidak.   Benarkah mereka benci pada tanah air ini?  Benci pada bangsa ini?  Saya juga yakin tidak begitu.  Setidaknya, saya belum cukup alasan untuk sampai pada keyakinan yang demikian itu.  Mengapa?  Kita sering mendengar: cinta dan benci hanya dipisahkan oleh batas yang amat tipis.  SayaKarena itu, saya pikir, teroris yang juga manusia sebagaimana kita yang punya pikiran dan punya hati juga demikian.  Kecintaannya yang begitu besar (boleh jadi demikian) pada bangsa dan negara seketika berubah 180 derajat menjadi benci tak terkira karena kekecewaan demi kekecewaan terus berakumulasi, sementara mereka terlanjur tidak melihat adanya harapan untuk mewujudkan harapan-harapannya, idaman-idamannya, dan juga mimpi-mimpinya.  Boleh jadi, kekecewaan itu tidak termediasi dengan baik, atau terlanjur memperoleh represi, sehingga meletup menjadi "bom waktu." Tidak Perlukah Kita Membenahi Kembali Cara Pandang Kita? Mungkin pembaca akan menduga bahwa saya bagian dari para teroris itu karena tulisan dan pikiran saya mencerminkan semacam pembelaan saya pada mereka.  Silahkan disimpulkan sendiri dengan membaca baik-baik setiap tulisan dan kalimat-kalimat saya.  Satu hal yang perlu saya nyatakan disini adalah bahwa terhadap kasus pengguna narkoba aparat kepolisian kita  dulu memburu mereka, menjebloskan mereka atas dasar argumen bahwa mereka telah melanggar aturan karena telah menyalah gunakan narkoba bagi dirinya.  Tapi, tahukah bahwa boleh jadi di antara mereka sebenarnya adalah korban yang karena sesuatu kondisi tertentu (sebagian) di antara tak mampu menghindar sehingga terjerumus ke dalam "lembah hitam" itu?  Dan tahukah Anda, apa yang terjadi sekarang? Saya bersyukur bahwa kepolisian kita telah memperoleh 'perspektif baru' untuk tidak lagi menggunakan "kaca mata" lama tapi menggantinya dengan "kaca mata" baru, dengan paradigma berpikir baru yang humanis.  Para korban itu kini dianggap sebagai korban, diperlakukan sebagai korban, sehingga mereka bukan lagi dianggap sebagai 'orang-orang yang berperilaku menyimpang' yang berpotensi menyebarluaskan barang haram kepada pihak lain sehingga harus dihukum layaknya seorang kriminal.  Titik.  Tidak.  Mereka, para korban narkoba itu, direhabilitasi, diperlakukan sebagaimana layaknya manusia lainnya yang berhak untuk kembali memiliki hari-hari yang damai, layaknya kita. Karena itu, pertanyaan saya:  tidak mungkinkah para teroris itu JUGA akan diperlakukan demikian itu?  Seyakin apakah kita untuk menarik kesimpulan bahwa mereka itu BUKAN anak-anak muda yang sebenarnya KORBAN dari cuci otak yang dilakukan oleh sekelompok intelektual yang kecewa, yang frustrasi, yang sudah termakan oleh ideologi kekerasan tertentu?  Boleh jadi juga, para teroris kakap itu JUGA  KORBAN dari sekelompok tertentu yang datang sebelumnya.  Demikian seterusnya.  Sehingga, pertanyaan saya: apakah cara kekerasan TEPAT untuk membasmi teroris-teroris dan berbagai paham yang melatar-belakanginya itu?  jika memang dapat, mengapa teroris tetap masih ada juga hingga saat ini?  Bagaimana jika teroris itu JANGAN-JANGAN BENAR sengaja "dipelihara" oleh pihak tertentu demi kepentingan tertentu?  Jangan lupa, negeri kita tercinta ini adalah negri yang kaya dengan REKAYASA!  Kita saja yang terlalu bersih, terlalu lugu, terlalu baik, terlalu lurus, dan banyak terlalu-terlalu lainnya sebagai akibat ketidak-tahuan kita. Tahukah Anda bahwa keberadaan NII ternyata juga sengaja diadakan oleh intelijen kita dengan tujuan untuk memerangkap anak-anak muda yang memang ingin mendirikan negara Islam Indonesia?  jika NII bisa, mengapa teroris tidak?  Bukankah yang penting semua masih dalam kendali?  Sayangnya sebuah rekayasa, sebuah kebohongan, bisa menjadi bumerang bagi diri "sang dalang." Gunakanlah "Kaca Mata" yang Berbeda, maka  Terorisme pun akan Tampak Beda Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant, pernah mengatakan jika kita menggunakan kacamata berwarna, maka objek akan tampil kepada matakita sesuai dengan warna kacamata yang kita kenakan.  Sungguh logis, dan dapat kita uji kebenarannya.  Nah, terkait dengan terorisme, jika paradigma kepolisian terhadap para pecandu narkoba saja sudah berubah, sebagai akibat mereka mengubah cara pandang dan penilaian terhadap mereka yang bukan semata-mata sebagai pengguna yang melanggar hukum penggunaan narkotika tetapi memandangnya sebagai korban, MENGAPA hal yang SAMA TIDAK DITERAPKAN kepada para teroris?  Benarkah mereka itu sebatas orang-orang yang memang tersesat atau justru disesatkan oleh pihak tertentu karena kepentingan tertentu?  Di negara yang penuh REKAYASA macam negara kita, apa yang tidak mungkin? Lantas, jika ternyata mereka juga kurang lebih sama dengan para pengguna narkoba bahwa mereka juga anak-anak Indonesia, putra-putra ibu pertiwi kita, tumpah darah yang bukan hanya milik dan bagi kita tetapi juga milik dan bagi mereka, para teroris itu, bukankah sudah saatnya menanggulangi terorisme yang mengedepankan kekerasan itu tidak dengan kekerasan?  Apakah kita ingin mengatasi kemarahan orang lain dengan kemarahan kita?  Apakah kita ingin menegakkan hukum seraya melanggar hukum?  Apakah penembakan mati yang sah atas dasar kondisi tertentu sebenarnya juga melanggar hak azasi manusia?  Benar bahwa para teroris telah melakukan pelanggaran terhadap hak hidup (hak azasi) orang-orang lain tetapi itu dilakukan karena mereka teroris, bukan?  Apakah kita yang bukan teroris lalu harus memposisikan diri SETARA, SEDERAJAT, SEMARTABAT dengan para teroris itu? Saya setuju bahwa terorisme bukan cara benar untuk mencapai sesuatu tujuan, semulia apa pun itu.  Tetapi, saya tidak  setuju bahwa penanganan terhadap para teroris adalah dengan menembak atau mengekskusi mati sebagai semacam ungkapan kemarahan publik atau negara terhadap aksi para teroris itu yang biadab itu.  Lagi pula, dengan membunuhi mereka pihak kepolisian tidak pernah belajar langsung dari "sang" teroris mengapa mereka memilih jalan kekerasan.  Jika benar kita ingin membasmi, tangkap hidup-hidup mereka, ajak bicara mereka sebagai sesama manusia.  Ini bukan soal rasa manusiawi buta semata, tetapi tanpa pernah menyelami cara berpikir para teroris bagaimana kita akan menyelesaikan persoalan terorisme ini sampai ke akar-akarnya? "Tantangan" Ali Imron agar supaya dirinya dihadirkan dalam perbincangan seputar terorisme yang muncul dalam salah sebuah acara TVOne yang dipandu oleh Karni Ilyas beberapa hari yang silam, saya pikir, layak untuk dipetimbangkan dengan hati dan pikiran jernih bahwa penyelesaian terhadap terorisme tidak cukup hanya menghadirkan kaum intelektual, agamawan, para ahli saja, tetapi juga perlu menghadirkan 'sang teroris' itu sendiri.   Artinya, penangkapan terhadap para teroris secara hidup-hidup mustinya akan dapat menjadi cara benar yang berwawasan jauh ke depan. Terorisme, "Produk Gagal" Dunia Pendidikan Kita? Percayakah Anda bahwa pendidikan itu mustinya mampu mengantarkan seseorang untuk berpikir secara 'berbeda' dari siapa pun yang tidak pernah bersekolah?  Jika anda termasuk orang yang percaya, ijinkan saya untuk mengajukan pertanyaan lanjutan lagi: apakah Anda percaya bahwa pendidikan yang buruk akan mampu mengantarkan seorang manusia untuk dapat memahami dan menguasai materi pelajaran dengan baik?  Jika jawabannya masih 'tidak' juga, maka berikut ini pertanyaan lanjutannya: jika pendidikan telah gagal melahirkan seorang anak manusia menjadi "manusia baru" yang lebih baik dari sebelumnya, bukankah artinya pendidikan tak dapat mengantarkan seseorang kepada gerbang pengetahuan untuk dapat menilai 'benar-salah'? Jika jawabannya masih 'ya' juga, maka marilah kita mencoba mengerti mengapa kebobrokan ada dimana-mana di negri ini, baik di jalan raya atau pun di kantor-kantor, baik di kedai kopi atau pun di ruang menteri, baik di ruang kepala kampung atau pun ruang gubernur sekali pun (atau bahkan di ruang presiden.  Presiden juga manusia, kan?) Kegagalan dunia pendidikan untuk dapat membuka cakrawala berpikir pada diri anak didik, untuk memperkenalkan, mengajarkan, mencontohkan tindakan-tindakan baik, mulia, luhur, sangat berpotensi melahirkan anak-anak manusia menjadi 'setengah manusia' yang tidak sempat berkembang sampai optimal.  Agaknya itulah yang telah terjadi sehingga dalam banyak sektor kehidupan selalu dapat dijumpai "kesemrawutan" yang amat sulit dimengerti dan dibenahi dalam waktu singkat.  Segalanya telah 'menjadi.' Memang, menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk dapat membenahi semua itu, tetapi satu hal yang ingin saya katakan adalah bahwa musuh kita bukan hanya terorisme.  Terorisme hanyalah dampak dari buruknya kualitas pendidikan yang akhirnya melahirkan manusia-manusia indonesia yang serba "prematur" tapi sayangnya terlanjur telah menjadi dewasa dan menduduki jabatan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan berbagai '...tif-tif' lainnya.  Kesalahan itu telah beranak-pinak sekarang dan suka tidak suka harus kita tunai sekarang.  Jika ke depan kita ingin sesuatu yang berbeda, dari sekarang mari kita ganti cara pandang kita.  Mari kita semua insyaf.  Mari jangan lagi merasa yang paling tahu, paling benar, dan entah apa lagi. Ada "cakrawala baru" di depan sana yang dapat kita tuju jika kita mau.  Tapi, kita harus menanggalkan dan meninggalkan kemanusiaan kita di hari-hari kemarin yang "serba abu-abu."  Mau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline