Lihat ke Halaman Asli

Merenungkan Kasus Kebakaran Kilang Minyak Cilacap

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tanpa perubahan secara mendasar di dalam diri kita, tanpa kesadaran untuk menumbuhkan nilai-nilai yang dituntut sejalan dengan teknologi canggih yang hendak kita gunakan, pada saatnya teknologi akan "membunuhi kita" sebagai "tumbal-tumbal kemajuan.""

"Kebakaran Kilang Minyak Cilacap Bukan Yang Pertama," demikian judul salah satu berita tentang kebakaran kilang minyak Cilacap di Detik News siang ini (4 April 2011).  Dikisahkan bahwa peristiwa serupa pernah terjadi Minggu 9 Maret 2008 dengan merenggut nyawa tiga orang.  Sementara Kompas.com, Minggu 3 April, membuat judul sebagai berikut untuk masalah yang terkait, "Kebakaran Cilacap Tak Ganggu Stok BBM."  Tulisan ini bukan bersifat reportase tetapi renungan atas peristiwa nasional, dalam hal ini terbakarnya kilang minyak di negri kita hingga saat ini.

Ada apa di Balik Berita?

Dari sedikit saja data di atas, Detik News secara bagus telah menyiratkan keprihatinannya sebagai media bahwa kebakaran demi kebakaran ternyata tak luput juga melanda salah satu aset nasional kita.  Jika menyimak berita lain di mesin pencari google, ternyata pula kebakaran kilang minyak di Dubai telah pernah terjadi pada tahun 2008.  Memang, seperti dituliskan dalam judul Kompas.com kebakaran tersebut tidak mengganggu stok BBM, satu hal yang dikhawatirkan muncul dalam benak masyarakat luas dan ingin diantisipasi adanya pembelian besar-besaran di tingkat masyarakat.  Tetapi, itu hanyalah satu segi yang langsung terkait dengan kebutuhan kita masa kini, dalam hal ini menyangkut kebutuhan bahan bakar.  Apakah ada persoalan lain?

Kebakaran kilang minyak Cilacap, bagi saya, penting untuk saya tuliskan dan dikritisi disini, karena minyak menjadi hajat hidup kita semua tetapi yang lebih penting dari itu adalah bahwa ternyata sudah cukup sering aset nasional tersebut harus mengalami kerugian karena mengalami beberapa kali kebakaran.  Kasus itu sekaligus menyedihkan, karena di samping seringnya terbakar, dari kasus Cilacap, kita disadarkan bahwa ternyata untuk "kecelakaan" terbakarnya kilang minyak tersebut, pihak terkait masih belum juga mampu memadamkan apinya hingga hari ini, setelah tiga hari berlalu.  Upaya-upaya untuk menyemprotkan foam yang dikabarkan dapat meredam api ternyata tak mendatangkan hasil secara optimal.  Memang upaya pemadaman telah dilakukan oleh pihak pemadam kebakaran dalam waktu 24 jam.  Tetapi ini adalah hal lain yang tidak ingin dikritisi di sini karena toh hasil optimal yang mencegah terbakarnya dua tangki lain tak dapat terjadi.

Hasil Pemadaman yang "tanpa hasil"

Hal yang sangat mengherankan dari peristiwa tersebut adalah bahwa meredanya kobaran api lebih disebabkan karena stok di dalam tangki sudah semakin menipis, nyaris habis.  Apa yang dapat dikatakan terkait dengan kenyataan yang demikian?  Bagi saya, fakta tersebut memperlihatkan ketidakmampuan tim pemadam kebakaran baik itu dari pihak internal Pertaminan ataupun dari pihak-pihak lain yang membantu. Lalu, akibat dari kebakaran yang tak dapat segera diatasi, kita tahu, bahwa  api yang tak dapat dikuasai sepenuhnya telah mengakibatkan terbakarnya dua tangki lainnya.  Pertanyaan saya dan mungkin kita semua, "Lalu apa arti upaya pemadaman itu jika ternyata padamnya api disebabkan oleh habisnya isi tangki?" "Bukankah fakta ini memperlihatkan bahwa teknologi yang ada dan SDM yang terkait masih belum mampu mengatasi persoalan yang bukan hal baru terjadi bagi Pertamina?" Itulah keheranan dan sekaligus keprihatinan pada diri saya, mungkin juga pada kompasianer lainnya.

Yang Perlu Digarisbawahi

Bercermin dari sebab-sebab terbakarnya kilang minyak yang masih belum diketahui sampai saat tulisan ini dibuat,  beberapa hal lain perlu saya kemukakan untuk dapat kita kritisi lebih jauh lagi.

Pertama, saya ingin mempersoalkan pernyataan manajer Humas Pertamina Unit Pemasaran IV Jateng-DIY, Happy Wulansari, yang menegaskan dalam Kompas.com bahwa "... kebakaran besar tersebut hanya membakar zat kimia untuk menambah oktane BBM jenis premium."  Dari kata 'hanya' tersebut, saya memperoleh kesan bahwa peristiwa kebakaran agaknya bukan hal serius dan pantas untuk disesali karena kebakaran dilihat secara mikro, yakni segi 'apa'-nya dari kilang Pertamina tersebut yang terbakar.  Padahal, kebakaran tersebut dengan asap hitam yang membubung tinggi dan memakan waktu setidak-tidaknya tiga hari, jelas-jelas telah mencemari udara kita yang sudah mulai dirasakan dampak buruknya bagi pernafasan masyarakat sekitar.

Kedua, kebakaran jelas menimbulkan kerugian yang alangkah bagusnya jika dapat diantisipasi sedemikian rupa dari pihak Pertamina yang sudah selayaknya memiliki kemampuan memadamkan api dengan cepat sehingga kerugian atas kebakaran tersebut tidak terus membesar dan berdampak secara kesehatan, ekonomi, atau pun sosial.  Kerja keras secara marathon memang telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait.  Reaksi cepat dengan mendatangkan foam beratus-ratus ton dari berbagai tempat juga sudah dilakukan.  Upaya pemadaman melalui udara juga sudah dirancang meskipun batal karena faktor cuaca yang tidak memungkinkan.  Tetapi, bukankah pikiran-pikiran plus imajinasi mereka yang bertanggung jawab mustinya telah mampu melampaui dan mengatasi hasil karya putra-putra Indonesia sendiri yang telah lama diselesaikan itu?

Ketiga, kebakaran yang berulang memperlihatkan bahwa kesalahan demi kesalahan agaknya tidak dapat diantisipasi.  Jika kita selalu memandang kejadian demikian sebagai 'musibah', sebagai sesuatu yang "tak diharapkan tapi  marilah kita terima sebagai fakta yang ada," lantas: kapankah kita akan dapat menarik pelajaran berharga dari kejadian demi kejadian?  Bocornya reaktor nuklir di Jepang memang tak dapat kita pungkiri telah terjadi.  Tetapi peristiwa tersebut sama sekali bukan factor manusia atau pun hasil karya canggihnya, dalam hal ini karya teknologi, akan tetapi faktor alam yang memang berada di luar batas kemampuan manusia, setidaknya sampai hari ini.

Wacana Reaktor Nuklir Kita dan Antisipasi Kultural-kemanusiaan Mulai Saat Ini

Banyak hal lainnya yang dapat kita kemukakan sebagai satu bentuk tanggapan kritis atas persitiwa terbakarnya kilang minyak di Cilacap tersebut.  Tetapi, jika terbakarnya kilang itu disebabkan karena faktor 'human error' dan atau penyalahgunaan kewenangan atau penyimpangan anggaran atau akibat dari berbagai bentuk kesalahan, baik disengaja atau pun tidak, maka marilah kita bertanya-tanya: apakah sudah layakkah kita memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang telah mulai diwacanakan dalam beberapa tahun terakhir?  Sanggupkah SDM terkait mengedepankan dan sungguh-sungguh menjamin profesionalitas kerja serta  memikul tanggung jawab kerja yang dapat menjamin keselamatan sebagian rakyat Indonesia, terutama yang tinggal di wilayah reaktor nuklir tersebut?  Manusia-manusia Indonesia macam apakah yang selayaknya dipekerjakan disana?  Dapatkah mentalitas mereka yang bertanggung jawab di dalam reaktor tersebut kelak menjadi seorang putra bangsa "yang lain sama sekali" yang bukan hanya mampu meminimalisir kesalahan prosedural tapi mampu bekerja secara ekstra cermat dan tunduk pada prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh ahlinya?

Peristiwa terbakarnya minyak yang sudah beberapa kali terjadi semoga bukan hanya kita hadapi sebagai berita besar yang segera akan berlalu oleh berita-berita atau isu-isu "menarik" di layar televisi atau halaman-halaman muka persuratkabaran kita.  Sudah saatnya bagi bangsa kita untuk berpikir benar, bersikap benar, dan bertindak benar dalam segala hal.  Dengan demikian, tidak ada sikap main-main dengan "api" yang dapat membakar dan menghanguskan segala yang terbakar.  Hidup memang akan selalu mengalir.  Dalam aliran hidup tersebut segalanya memang akan berubah.  Pantha Rei, "Semua Mengalir," "Semua Berubah," demikian Herakleitos, filsuf Yunani Kuno bernah berkata lantang.  Tetapi, marilah perubahan nasib hidup kita, kemanusiaan kita, jangan disebabkan oleh 'api' apalgi 'nuklir' yang dapat mematikan anak-anak bangsa dalam jumlah yang besar di masa depan.

Saatnya Telah Tiba untuk Tidak Menjadi Tumbal Kemajuan

Sudah saatnya kita hidup secara berbeda, secara baru, dengan mengedepankan nilai-nilai hidup yang sesuai dengan "cita-rasa" kemajuan jika memang benar kita ingin ikut dalam perlombaan kemajuan yang tidak hanya di permukaan.  Tanpa perubahan secara mendasar di dalam diri kita, tanpa kesadaran untuk menumbuhkan nilai-nilai yang dituntut sejalan dengan teknologi canggih yang hendak kita gunakan, pada saatnya teknologi akan "membunuhi kita" sebagai "tumbal-tumbal kemajuan."  Sungguh ironis jika itu menimpa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline