Lihat ke Halaman Asli

Deka Ritan

Mahasiswa

Bebaskan Palestina dari Hamas Bukan dari Israel: Mengurai Kompleksitas Konflik di Jalur Gaza

Diperbarui: 29 November 2023   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: freepik.com 

Pada hari Jumat, 13 Oktober 2023, pemerintah Israel mengeluarkan ultimatum kepada warga sipil di utara Jalur Gaza untuk mengungsi, menandakan antisipasi serangan besar-besaran. Reuters melaporkan bahwa tindakan ini mencerminkan upaya Israel untuk melindungi warga sipil dengan memberikan waktu yang cukup untuk evakuasi. Meskipun langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap keselamatan warga sipil, taktik yang bertolak belakang muncul dari pihak Hamas yang meminta warga Gaza untuk tetap tinggal, menambah kompleksitas keputusan yang harus diambil oleh penduduk setempat.

Sehubungan dengan kritik terhadap kurangnya waktu evakuasi, Bret Stephens, seorang kolumnis The New York Times, memberikan pandangannya bahwa kesalahan utama tidak hanya terletak pada faktor waktu yang terbatas. Ia menyoroti bahwa Hamas, dengan sengaja meluncurkan serangan provokatif, memiliki peran besar dalam memicu respons marah Israel. Stephens menyatakan, "Pertimbangkan: Hamas meluncurkan serangan dengan kebiadaban seperti yang ditunjukkan oleh Nazi di Babyn Yar atau ISIS di Sinjar. Mereka melakukannya dengan sadar bahwa ini akan memprovokasi respons Israel yang paling marah mungkin. Mengapa membahayakan jutaan warga Palestina? Karena Hamas telah belajar bahwa mereka mendapatkan keuntungan setidaknya sebanyak kematian warga Palestina seperti yang mereka dapatkan dari kematian warga Israel, semakin banyak dari keduanya, semakin baik.

Mosab Hassan Yousef, putra salah satu pendiri Hamas, membawa dimensi lain ke dalam diskusi dengan mendukung tindakan Israel dan menegaskan bahwa kematian di Gaza seharusnya tidak diatribusikan sepenuhnya pada Israel. Dalam wawancara dengan Chris Cuomo dari NewsNation, Yousef menyatakan, "Jika warga sipil ini memilih untuk bersama Hamas, maka jika mereka mati bersama Hamas, itu bukan kesalahan Israel." Padangan Yousef juga menyoroti resiko gencatan senjata prematur, yang akan mengakibatkan lebih banyak kekerasan, dan jika Hamas tidak dihapuskan sekarang, walaupun dengan kosekuensi kematian warga sipil, kekerasan di masa depan akan menjadi lebih parah. Kritik Yousef sangat tajam bagi mereka yang berbicara atas nama rakyat Palestina, menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik” yang harusnya berdiam diri. Pernyataan tersebut adalah cerminan ketidakpuasan kelompok-kelompok, yang menurut Yousef, tidak benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat Palestina atau Israel.

Dalam konteks ini juga, Gareth Brahams London dan Nimer Sultany menyoroti kegagalan untuk menyebutkan korban Israel dari tindakan keji Hamas. Demikian pula, penulis lain seperti Omar Barghouti dianggap mengabaikan kekejaman terhadap warga Israel. Mereka menekankan pentingnya mengakui penderitaan kedua belah pihak dan tidak mengabaikan kekejaman terhadap warga Israel dalam konflik ini. Pentingnya memahami bahwa pembebasan Palestina dari teroris Hamas tidak boleh disalahkan pada Israel. Peran Hamas dalam memicu konflik perlu diakui, sambil tetap mengakui penderitaan yang dialami oleh kedua belah pihak. Dalam mengatasi kompleksitas konflik ini, solusi yang memerlukan tanggung jawab dari semua pihak harus diutamakan, dengan tujuan mencapai perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline