Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Transformasi Ludruk: Keterlibatan Politik, Hegemoni Negara, dan Strategi Survival

Diperbarui: 19 Februari 2023   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertunjukan Ludruk Karya Budaya di Gresik. Dokumentasi penulis

Pada tahun 1930-an, Gondo Durasim (Cak Durasim) dan kawan-kawan mendirikan organisasi ludruk pertama di Surabaya, Ludruk Organisatie. Pada masa sebelum revolusi kemerdekaan, pertunjukan ludruk, drama rakyat yang populer di Surabaya dan beberapa daerah sekitarnya, menjadi media untuk menyebarluaskan kritik terhadap kekejaman rezim kolonial. 

Rakyat jelata sangat memahami ketidakadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat yang disebabkan oleh sistem kolonial yang lebih banyak memberikan keuntungan bagi penjajah. Kondisi demikian merupakan arena diskursif tempat Cak Durasim dan kawan-kawan membuat narasi tematik dan mementaskannya di atas panggung. 

Meski tidak meniadakan fungsi ludruk yang menghibur, mereka selalu berusaha menghadirkan kesengsaraan rakyat dalam pementasannya melalui kidungan (lagu pengantar berbahasa Jawa), lawakan (humor), dan cerita utama sebagai upaya membangkitkan semangat revolusioner penonton. 

Karena kritik dan tawaran subversif, rezim Belanda sebelum tahun 1940 melarang pertunjukan ludruk dan melikuidasi organisasi ludruk sebagai kebijakan kuratif mereka dalam menghalangi penyebaran semangat revolusi yang lebih luas. 

Kedatangan penjajah Jepang pada tahun 1942 seakan memberi peluang baru bagi para seniman ludruk untuk tetap eksis, karena rezim baru ini melegalkan kembali organisasi dan pertunjukan ludruk. Namun, rezim Jepang menggunakan pertunjukan ludruk sebagai media propaganda, terutama untuk menyebarkan ide-ide Asia Timur Raya agar berada di bawah kendali mereka. 

Namun demikian, dalam sebuah pertunjukan, Cak Durasim mengkritik penjajah Jepang secara terang-terangan melalui parikan populernya: “pagupon omae doro/melu Nippon tambah sengsara (pagupon rumah merpati/mengikuti Nippon lebih duka). Karena parikan ini, aparat Jepang memenjarakan Cak Durasim hingga meninggal dunia (Susanto, 2012).

Berdasarkan kasus di atas, pada awal popularitasnya sebagai seni pertunjukan rakyat, para seniman ludruk banyak menyerap isu dan persoalan sosial di masyarakat untuk mengkritisi ketidakadilan rezim penguasa melalui bahasa arek (dialek Jawa yang digunakan di Surabaya dan beberapa daerah di sekitarnya yang memiliki tidak ada tingkat linguistik berdasarkan strata sosial). 

Melalui kidungan, penonton dengan mudah memahami humor, dan melalui narasi realis dalam arek, mereka memahami kritik sosial dan pesan revolusioner pertunjukan ludruk. 

Dengan kata lain, tidak hanya para tokoh politik-intelektual seperti Soekarno, Hatta, Dr. Sutomo, Tan Malaka, Sjahrir, dll yang berperan dalam memberdayakan kesadaran konsensual masyarakat akan pentingnya kemerdekaan. 

Sesi hiburan oleh para travesti sebelum lakon ludruk dimulai. Dokumentasi penulis

Cak Durasim dan kawan-kawan juga mengambil peran penting dan langsung untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap rezim kolonial yang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline