Dalam perspektif kritis, budaya sebagai identitas bangsa, bisa diposisikan sebagai pengetahuan yang berdimensi kekuasaan. Budaya bangsa dikonstruksi sebagai formulasi wacana bersama melalui aparatus-aparatus pilihan (intelektual, menteri, pegawai negeri, guru, seniman, sastrawan, dan yang lain) yang mewacanakannya melalui institusi publik dan media massa.
Pada masa Sukarno, misalnya, budaya bangsa dimaknai sebagai segala nilai dan benda budaya "yang asli Indonesia" sehingga bentuk-bentuk budaya yang berasal dari luar/asing dilarang berkembang. Budaya kemudian menyebar menjadi wacana-wacana bernuansa kerakyatan, progresif, dan revolusioner demi cita-cita nasionalisme.
Seniman, budayawan, maupun aparat birokrat budaya yang menyepakati wacana tersebut mewujud dalam lembaga-lembaga kebudayaan, baik yang berafiliasi ke PNI, NU, maupun PKI, sehingga budaya sebagai identitas bangsa menjadi pengetahuan bersama yang pada akhirnya mengarah pada kuasa pemerintah di bawah naungan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno.
Para seniman, sastrawan, dan rakyat menjadi subjek yang sebisa mungkin menyesuaikan proses kreatif dan selera estetiknya dengan konsep asli Indonesia. Bagi yang bersebrangan, seperti Koes Bersaudara, dianggap sebagai liyan yang bisa berbahaya bagi perkembangan budaya bangsa sehingga sah untuk dipenjara.
Kondisi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh pilihan politis rezim yang tidak mau terlalu dekat dengan Barat, khusunya Inggris dan Amerika Serikat, karena dianggap antek- antek kapitalis dan neoimperialis.
Pada masa Orde Baru (Orba) yang bernuansa kapitalistik, wacana budaya bangsa mengarah pada pengetahuan tentang budaya nasional yang mendukung pembangunan nasional. Budaya bangsa kemudian diwacanakan sebagai medium yang menciptakan persatuan dan integritas nasional, tidak mengandung unsur SARA, identitas nasional, dan lain-lain.
Para seniman, sastrawan, lembaga- lembaga kesenian, maupun media yang bersepakat dengan wacana-wacana tersebut kemudian mewacanakan ke ranah publik, sehingga masyarakat tergiring dalam satu relasi kuasa orde baru; kesenian tidak boleh bernuansa politik.
Festival maupun lomba-lomba budaya menjadi sangat marak dalam masa ini dan mampu menyihir masyarakat akan kebenaran pengetahuan, meskipun hanya sebatas seremonial. Pada masa ini pula, ekspresi lokalitas di media sangat jarang dimunculkan, dan kalaupun muncul pasti membawa pesan tentang persatuan bangsa dan pembangunan nasional.
Budaya nasional, dengan demikian, menjadi pengetahuan konsensual untuk menutupi kecenderungan kapitalistik rejim yang membuka pintu selebar-lebarnya terhadap perkembangan industri media populer yang berhasil mengekang nalar kritis dan imajinatif seniman atas nama kemajuan bangsa, sembari meminggirkan ekspresi budaya lokal-daerah (Hartley dikutip dalam Setiono, 2003: 205).
Baik rezim Sukarno maupun Suharto, dalam konteks dan strateginya masing-masing, berhasil menggunakan budaya nasional sebagai wacana dan pengetahuan bangsa untuk mendukung kuasa hegemoniknya.
Dalam perspektif hegemoni (Gramsci, 1981: 191-192), kedua rezim tersebut berhasil menciptakan kuasa hegemoniknya melalui artikulasi kepentingan estetika kultural masyarakat sekaligus memasukkan kepentingan kuasa, sehingga sebagian besar warga masyarakat menganggap kuasa mereka memang sudah seharunya ada; sebuah pewajaran melalui konsensus.