Media, Wacana, dan Kuasa
Dalam tradisi kajian media sebagai bentuk komunikasi massa yang menganalisis proses penyampaian pesan secara massif dari komunikator kepada komunikan, terdapat dua paradigma yang sampai saat ini masih diperdebatkan, yakni paradigma "arus utama" yang bersifat behavioristik dan paradigma kritis yang lebih bersifat ideologis.
Hall (1982: 56-59) membuat deskripsi sederhana tentang paradigma behaviorisktik sebagai usaha analitik untuk melihat seberapa jauh pengaruh media terhadap audiens-nya. Sementara, paradigma kritis lebih banyak menyoroti persoalan wacana ideologis yang direpresentasikan dalam isi media.
Dalam pendekatan kritis, paling tidak, terdapat dua pertanyaan mendasar yang menjadi fokus kajian, yakni: (1) bagaimana proses ideologis bekerja dan apa mekanismenya? dan (2) bagaimana 'yang bersifat ideologis' dicitrakan dalam hubungan dengan praktik lain dalam formasi sosial?
Untuk bisa menemukan praktik dan proses ideologis yang disampaikan melalui media, seorang pengkaji dalam paradigma kritis, terlebih dahulu, perlu memahami kerja-kerja representasi.
Representasi dalam pandangan Hall (1982: 64) melibatkan kerja aktif untuk mengkonstruksi-kembali realitas (menyeleksi, mempresentasikan, menstrukturkan, dan membentuk) agar makna-makna kultural dalam masyarakat lebih bermakna dan tampak sebagai kewajaran.
Dalam representasi terdapat strukturasi wacana tertentu yang diwujudkan dalam penandaan melalui bahasa media. Pekerja media melakukan kerja-kerja untuk mendefinisikan persoalan sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat dengan penandaan melalui bahasa teks, audio, maupun audio-visual yang tidak bisa dilepaskan dari formasi wacana ideologis dalam masyarakat tertentu.
Maka, para kreator media mempunyai kuasa untuk menandakan peristiwa-peristiwa demi kepentingan kelas tertentu melalui strukturasi ideologis dalam tanda yang disampaikannya.
Representasi dalam media menjadi bagian integral dari proses ideologis dalam masyarakat. Ideologi bukan semata-mata sebagai sekelompok sistem ide atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat tertentu, tetapi rezim kebenaran yang diproduksi secara aktif melalui beragam wacana dalam praktik budaya.
Ideologi menjadi kerangka pikir tentang objek-objek pengetahuan tertentu dan akan terus-menerus diwacanakan melalui praktik penandaan, yang termasuk di dalamnya adalah bahasa, konsep, kategori, pencitraan pikiran, dan sistem representasi (Hall, 1997a: 26). Ketika ideologi menjadi kerangka mental, maka ia adalah struktur semantik yang mengarahkan pikiran dan tindakan para subjek.
Representasi yang dilakukan para pekerja media, sebagai subjek, akan mengarah pada penyampaian pesan diskursif yang berasal dari wacana-wacana ideologis yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, apa-apa yang direpresentasikan sangat tergantung pada acuan makna dan wacana ideologis yang eksis.