Pengantar
Diaspora Puerto Rico di AS memiliki sejarah panjang yang tidak lepas dari proses imigrasi sejak Perang Spanyol-Kuba-Amerika tahun 1898 dan melonjak pada masa migrasi besar-besaran setelah Perang Dunia Kedua hingga era kontemporer (Thomas, 2015; Acevedo, 2004).
Hingga tahun 1970-an para imigran Puerto Rico mengalami masalah marginalisasi. Sejak 1980-an diaspora Puerto Rico mulai meraih capaian ekonomi dan banyak individu terpelajar mampu mengontrol representasi budaya komunitas mereka. Peran politik mereka bahkan lebih signifikan, setidaknya dalam pemilihan presiden.
Meskipun demikian, beberapa isu krusial seperti penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol masih cukup tinggi di kalangan pemuda Puerto Rico di AS (Ros-Bedoya & Gallo, 2003; Szalay et al, 1993; Senreich, 2018; Wurzman et al, 1983).
Persoalan lainnya adalah posisi mereka sebagai komunitas diaspora yang hidup di tengah-tengah masyarakat induk dengan posisi ekonomi, sosial, politik dan budaya yang dominan.
Warga diasporik memiliki masalah pelik di negara induk, seperti sentimen rasial dan sulitnya mempraktikkan budaya baru yang membuat mereka merindukan berbagai kenangan di tanah air dan merasa 'tak berumah' (unhomely), sekaligus, pada saat yang sama, mengapropriasi sebagian bagian budaya metropolitan (Safran dikutip dalam Kral, 2009: 13; Saham, 2010).
Imigran Puerto Rico juga mengalami diskriminasi ras dan etnis di berbagai sektor kehidupan (Roln-Dow, 2010; Daponte, 1996; Dawson & Surez, 2018; Lobo et al, 2012; Gonzalez-Sobrino, 2018). Meski demikian, para pendatang juga berusaha memperjuangkan kemajuan hidup dengan menyesuaikan nilai-nilai budaya dan praktik masyarakat induk.
Kondisi ini menimbulkan keberantaraan kultural bagi individu diasporik. Seringkali, subjek diasporik kesulitan mengungkapkan di mana satu budaya berakhir dan budaya lainnya dimulai (Salkauski, 2013). Identitas budaya, kemudian, tidak lagi menjadi hal yang tetap, tetapi selalu dalam proses negosiasi, pemosisian, dan menjadi (Hall, 1997, 1994).
Namun, ketegangan etnis, nasional, dan transnasional yang dialami oleh diaspora seringkali bersifat kreatif, bahkan memperkaya budaya asal dan seringkali memobilisasi identitas kolektif, tidak hanya dalam kaitannya dengan permukiman atau dalam hal tanah air yang diimajinasikan, tetapi juga terkait solidaritas dengan anggota kelompok etnis yang sama di negara lain (Cohen, 2008: 6-8).
Kompleksitas budaya seperti itu menjadi sumber kreatif untuk menulis narasi sastra diasporik. Penulis dari generasi pertama, kedua, ketiga, atau generasi berikutnya adalah subjek kontestasi, apropriasi, prasangka, dan ekspektasi budaya campuran.