Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Ekokritisisme: Masalah Lingkungan dalam Teks Sastra dan Budaya

Diperbarui: 23 Januari 2023   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elegant ladies walking on a country road near a farmyard, oil on canvas 66.5 x 99.6 cm (Simonis & Buunk Kunsthandel). Sumber: Wikimedia Commons

Muncul keyakinan yang semakin menguat bahwa krisis ekologis global yang menjumpai manusia dan kemanusiaan hari ini merupakan salah satu titik balik paling kritis yang dihadapi peradaban manusia. Penyebab dari trend ini diyakini oleh beberapa pihak berada dalam kecenderungan destruktif yang menciptakan ketidakberimbangan ekologis. 

Basis ketidakberimbangan ini bisa diarahkan kepada banyak kekuatan, tetapi secara luas bisa direduksi pada sedikit trend utama, intensitas konsumsi manusia yang berlipatganda... dikombinasikan sedikitnya kehendak untuk... memahami betapa kebiasaan kita hari ini sedang memroduksi permasalahan di hari esok. (Leigh 2005: 3)

Masalah Ekologis dalam Ranah Kultural: Telisik Historis 

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin sering kita dengar para pakar lingkungan mengharapkan keseriusan para pemimpin dunia untuk terlibat aktif dalam usaha mengurangi percepatan krisis global yang mengancam bumi dan semua penghuninya. 

Seperti dikatakan Leigh dalam kutipan di atas pelipatgandaan jumlah manusia berdampak secara langsung kepada pelibatgandaan konsumsi yang memunculkan permasalahan serius dalam aspek produksi dan ekspansi di lahan subur dan hutan. Massifikasi asap, sampah, dan polutan lainnya semakin tak terkendali. 

Hasrat untuk mengenakan simbol-simbol kemewahan seperti perhiasan dari logam mulia meningkatkan aktivitas pertambangan yang mendapatkan legalitas dari banyak negara.  Bangunan-bangunan tinggi semakin memperburuk efek rumah kaca bagi atmosfer bumi. 

Kekhawatiran para pakar tersebut semakin menguat ketika mengetahui kurang adanya keseriusan dalam mengurangi dampak krisis ekologis yang dialami manusia. Tentu saja, permasalahan ekologis bukan hanya menjadi ‘konsumsi’ manusia-manusia abad ke-21. 

Paling tidak, sejak era kolonial dan industri di Eropa, nalar dan praktik ekspansionis manusia terhadap keliaran dan kekayaan alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi semakin menguat.  

Para intelektual yang bergerak dalam ranah kebudayaan juga tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan tersebut. Para pendukung Romantisisme di Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat, cukup antusias melancarkan kritik pedas terhadap nalar Pencerahan sebagai landasan modernisme yang dianggap membatasi pikiran manusia dalam hukum rasioanlisme, mekanisasi, dan teknologisasi. 

Para penggiat aliran dan gerakan ini menelusuri ketidakterbatasan alam dan suasana kehidupan manusia-manusia biasa di perdesaan sebagai alternatif untuk menguji kemampuan kreatif dan tanggung jawab kultural para intelektual, termasuk para sastrawan di dalamnya (Day 1995; Riasanovsky 1995; Schneider 2007; De Paz 2007). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline