Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Daya-Hidup Tayub: Penggemar dan Seniman sebagai Subjek

Diperbarui: 19 Januari 2023   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pengibing (tukang bekso) muda menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Sambiroto, Lamongan. Dokumentasi penulis

Penggemar sebagai Subjek, Bekso sebagai Kebanggaan Sosial

Berbeda dengan kesenian tradisional lain yang para pelakunya adalah seniman/wati profesional, seperti ludruk maupun wayang kulit, tayub memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para penggemar untuk menjadi pelaku dari pertunjukan, sebagai pengibing/penayub (tukang bekso). 

Hal serupa juga berlangsung dalam kesenian gandrung Banyuwangi dan jaipongan Jawa Barat. Para pengibing memiliki keterikatan emosional dengan tayub karena mereka merasa punya tanggung jawab untuk menyukseskan sebuah pagelaran. Keterikatan yang terjalin dari pagelaran satu ke pagelaran lain inilah yang menciptakan rasa memiliki yang begitu kuat bagi para penayub. 

Hal itu tentu saja berbeda dengan kesenian lain yang menjadikan mereka penikmat pasif dan hanya menikmati apa-apa yang disampaikan para pelaku di atas panggung. Tayub tidak terlalu rumit untuk dipelajari oleh warga masyarakat, khususnya generasi muda, sehingga mereka dengan cepat akan segera menjadi penayub ketika secara ekonomi sudah memungkinkan. 

Tingginya tingkat partisipasi dan ikatan emosional itulah yang secara langsung memberikan daya-hidup bagi para seniwati/man tayub.Kesempatan untuk menari dengan para tandhak/sindir/waranggono secara langsung menjadi momen yang memunculkan kegembiraan dan kesenangan yang bercampur dengan perasaan deg-degan. 

Kombinasi perasaan-perasaan tersebut, bagi para penggemar tayub menjadi keindahan tersendiri yang mampu melampaui batas-batas boleh-tidak boleh secara agama. Bahkan, saking uniknya momen tersebut, para pengibing seringkali bingung untuk mendeskripsikannya. Kasturi, salah satu pengibing senior dari Dusun Sambiroto, Sugio, Lamongan, menuturkan:

"Kalau disuruh menjelaskan, terus-terang saya bingung. Gimana ya? Pokoknya begini, kalau sudah bertemu dan menari dengan tandhak di kalangan, wah saya merasa sangat-sangat gembira, senangnya ndak karuan. Gerakan tari mereka yang saya imbangi dengan gerakan tari juga serasa membuat saya melayang-layang. 

Gimana gitu. Selain itu, kalau sudah menghadapi para tandhak, rasanya sangat beda. Saya tahu kalau tidak pakai riasan, mereka itu biasa, ya memang ada yang cantik dan manis. Tapi kalau sudah mengenakan pakaian pentas, wah ada yang berbeda. Jadinya, ingin mengajak mereka pulang. Ha...ha...ha..ha... 

Tapi sekarang susah, karena mereka itu sebagian besar sudah berkeluarga. Ndak masalah hanya bisa 'menikmati' di kalangan. Ya, pokoknya itu tadi, saya sangat-sangat gembira kalau bisa mbekso dengan tandhak. Makanya, saya belan-belani (belain) hutang kalau ada tayuban." (Wawancara 2 Agustus 2014)

Meminjam istilah Mulvey (1989), kegembiraan dan kesenangan yang dirasakan Kasturi dan juga para pengibing lain dalam pertunjukan tayub terletak pada hasrat pandangan skopopolik, di mana ia mengorientasikan pandangannya kepada tandhak sebagai bentuk pelepasan hasrat-hasrat seksual patriarkal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline