Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Membaca-kembali Rezim Orba: Pembangunanisme, Otoritarianisme, dan Kebudayaan

Diperbarui: 17 Januari 2023   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pidato Suharto dalam menyambut panen raya di desa Lappo Ase, Sulawesi Selatan, 1983. (Perpusnas/Wikimedia)

Di sebuah ruang kelas sekolah dasar Inpres, seorang guru perempuan setengah baya sedang menerangkan Presiden Suharto sebagai “Bapak Pembangunan” karena di bawah kepemimpinannya Republik Indonesia banyak melakukan pembangunan infrastruktur, seperti jalan aspal, waduk irigasi, sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan yang lain. 

Selain itu Pak Harto, begitu para guru biasa menyebutkan namanya, juga membawa Indonesia swasembada pangan sehingga mendapat penghargaan dari FAO, sesuatu yang dikatakan cukup membanggakan.

Ujung dari penjelasan Bu Guru adalah bahwa para murid harus mengetahui jasa-jasa Bapak Pembangunan dan harus menghormatinya sebagai pemimpin yang telah membawa Indonesia ke era kemajuan dan kesejahteraan.  

Pengantar

Cerita di atas saya pungut dari ingatan masa lalu ketika duduk di sekolah dasar di salah satu dusun di Lamongan. Saya sengaja memungutnya untuk menggambarkan kuatnya pengaruh Presiden Suharto dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa Orde Baru (selanjutnya disingkat Orba). 

Salah satu institusi dan aparatus yang digerakkan adalah sekolah dan para guru. Para guru adalah subjek yang memengaruhi pola pikir anak-anak sebagai generasi penerus. Apa yang ada dalam benak saya dan kawan-kawan sebaya waktu itu adalah Pak Harto sebagai figur pemimpin sempurna yang berjasa besar kepada Republik ini. 

Kesempurnaannya semakin lengkap ketika dalam dunia imajiner kami sering disuguhi film hitam putih berjudul Janur Kuning di TVRI yang membicarakan peran penting Suharto dalam melawan penjajah Belanda. 

Belum lagi setiap malam 1 Oktober kami selalu disuguhi film horor yang mencekam, Pengkhianatan G 30 S/PKI, yang menggambarkan kekejaman PKI karena ikut melakukan kudeta serta membunuh para jendral penting angkatan darat. Lagi-lagi, Suharto diposisikan sebagai penyelamat karena tindakan taktisnya dalam mengendalikan situasi politik dan keamanan di dalam negeri. 

Para guru kami tidak pernah menceritakan adanya genosida terhadap para anggota atau mereka yang dituduh PKI yang secara sistematis mampu menciptakan teror untuk warga negara.

Presiden Soeharto saat dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Presiden pada 27 Maret 1968.(PAT HENDRANTO)

Bagi generasi yang lahir di era 70-an atau 80-an, ingatan tentang Suharto adalah “senyum manis” seorang purnawirawan jendral yang mengabdikan dan mendedikasikan pikiran dan hatinya untuk kejayaan Republik ini. Ingatan seperti ini merupakan bentukan historis yang terlahir dari “mekanisme-mekanisme kultural” penuh rekayasa yang dilakukan secara massif, terstruktur, dan terukur. 

Berbeda dengan mekanisme opresif-militeristik yang mengedepankan komando dan penerimaan perintah dari atasan kepada bawaan, mekanisme kultural menyentuh aspek imajinasi, nalar, dan batin manusia, sehingga mereka merasa tidak tengah berada dalam pengaruh kekuasaan tertentu. 

Mekanisme kultural itulah yang lebih dari 30 tahun berlangsung di Indonesia dan mampu memengaruhi pola pikir masyarakat, khususnya mereka yang pernah merasakan “kejayaan hidup” di masa-masa Suharto berkuasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline