Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Cerita Ritual dari Banyuwangi: Merayakan atau Memperkuat Identitas?

Diperbarui: 18 Januari 2023   05:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penari Seblang membawa keris sebagai bentuk perlawanan. Seblang Bakungan digelar pada Minggu (10/9/2017)(KOMPAS.COM/Ira Rachmawati) 

Ritual dalam kerangka antropologis merupakan wujud ekspresi kultural yang menunjukkan keterkaitan harmonis antara manusia sebagai mikro-kosmos dengan alam dan kekuatan supernatural sebagai makro-kosmos. 

Tidak mengherankan, dalam setiap ritual selalu hadir sesajen, piranti, ataupun mantra yang mengekspresikan usaha manusia dalam sebuah komunitas untuk mendekatkan diri terhadap kekuatan supranatural yang diyakini ikut mempengaruhi gerak kehidupan mereka. Modernitas boleh merambah dan merembes ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat petani Indonesia. 

Namun, sebagian dari mereka tetap memosisikan ritual sebagai praktik ideal untuk memanjatkan doa kepada Tuhan akan usaha personal dan komunal yang dijalani dalam kehidupan. Namun, ketika peradaban pasar, termasuk pariwisata di dalamnya, menjadi kekuatan hegemonik, hal yang bersifat tradisional dan etnis diposisikan sebagai peluang bisnis oleh negara maupun pihak swasta. 

Hal ini juga berlangsung di Banyuwangi, tempat di mana masih banyak ritual agraris dan religius dipelihara oleh komunitas Using. Keragaman tafsir dan kepentingan yang melibatkan masyarakat di tingkat bawah dan penguasa di tingkat atas menjadikan pelaksanaan ritual di Banyuwangi tidak hanya menarik secara tampilan visual, tetapi juga dinamika dan tegangan yang menyertai pelaksanaannya.  

Sebagai masyarakat agraris sejak zaman kerajaan, masyarakat Using sudah terbiasa dengan beragam ritual dalam kehidupan mereka; dari ritual siklus hidup dalam keluarga, hingga ritual komunal yang dirayakan oleh seluruh masyarakat desa. 

Aneka ritual dilakukan untuk membersihkan desa, memohon kemelimpahan hasil panen pertanian, dan sebagai usaha untuk berkomunikasi dengan Tuhan agar warga desa terhindar dari bencana, penyakit, maupun kejadian-kejadian buruk. Meskipun agama mayoritas sudah mereka peluk, modernitas sudah mereka alami dan jalani, ritual-ritual komunal tetap juga dijalankan. 

Hal ini menegaskan hibriditas kultural masyarakat Using dalam merespons pengaruh-pengaruh budaya baru dalam kehidupan mereka (Subaharianto & Setiawan, 2012). Pemertahanan ritual sekaligus menjadi penanda identitas yang membedakan sebuah komunitas Using dengan komunitas Using lainnya, meskipun dalam hal tujuan memiliki kesamaan.

Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang, Banyuwangi, Jawa Timur.(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI) 

Di Alasmalang dan Aliyan, misalnya, terdapat ritual Kebo-keboan yang dilakukan sebelum musim tanam padi. Ritual ini melibatkan banyak lelaki yang akan berperan sebagai perwujudan kebo/kerbau, atau kebo-keboan, yang mengalami trance. Mereka akan diarak dari desa menuju lahan pertanian yang akan ditanami padi. 

Masyarakat meyakini bahwa dengan melaksanakan ritual ini, padi mereka akan tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit, dan menghasilkan panen melimpah. Sebaliknya, apabila Kebo-keboan tidak dilaksanakan, tanaman padi mereka akan diserang penyakit, bahkan gagal panen. 

Artinya, meskipun masyarakat petani Using sudah terbiasa dengan revolusi hijau yang mengandalkan mekanisasi dan kimiawisasi pertanian, mereka tetap meyakini dan menjalani ritual yang sangat tidak masuk akal apabila dibaca dengan nalar modern. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline