"Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia." (Ir. Sukarno, Presiden RI dalam Orasi Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1964, dikutip dalam Latif, 2011: 21)
Pengantar
Saya sengaja mengutip pidato Bung Karno di atas sebagai pintu masuk untuk membicarakan bagaimana posisi Pancasila dalam praktik kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Ketika Bung Karno mengatakan ia menggali Pancasila dari "bumi, tanah, air Indonesia" kita bisa memformulasi beberapa pemahaman konseptual yang bisa membantu untuk memosisikan dasar negara ini di tengah-tengah arus perubahan ekonomi, sosial, politik, dan kultural.
Pancasila bukanlah dasar negara yang tiba-tiba lahir dari perdebatan di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pengakuan Bung Karno di atas merupakan refleksi sosiologis-historis-kultural yang menegaskan bahwa sila-sila dari Pancasila berasal dari manusia, masyarakat, dan bangsa yang hidup di bumi Indonesia dengan bemacam-macam sejarah, praktik sosial dan budaya.
Mengapa harus digali dari sejarah, praktik sosial, dan budaya bangsa? Karena Pancasila digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara serta identitas, falsafah, dan etika bangsa, sehingga semua aparat negara dan rakyat bisa memahami dan mempraktikkannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Untuk itu, dasar yang dipakai sudah semestinya yang tidak asing dari pikiran dan pengalaman warga negara. Meskipun di dalam Pancasila juga terdapat nilai-nilai asing yang diserap karena kepentingan nasional, bukan berarti kekayaan budaya masyarakat diabaikan.
Ketuhanan, misalnya, mewujud dalam keyakinan dan pratik religi yang sudah dijalankan oleh para leluhur sejak masa sebelum datangnya agama-agama besar sampai dengan perkembangan Hindu, Budha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu. Para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa juga dengan sepenuh hati menjalankan keyakinan mereka.
Bahkan, dari masyarakat Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari, Jember, kita bisa belajar bagaimana kerukunan, gotong-royong, dan toleransi dilakoni dalam ritual Tawur Agung Kesanga maupun kehidupan sehari-hari.
Dengan memahami genealogi tersebut, sejatinya tidak ada masalah serius dalam pembumian Pancasila di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, sejak pasca Reformasi 1998 hingga saat ini, muncul kekhawatiran terkait memudarnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.