Mendung begitu syahdu, menggelayut manja di atas Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember. Hari itu, Minggu, 28/8/22, selepas dzuhur, desa yang sehari-hari di musim kemarau cukup panas terasa begitu sejuk.
Bahkan, ketika saya baru sampai di Curahnongko setelah menempuh hampir 1,5 jam perjalanan melintasi beberapa perkebunan di kawasan selatan Jember, cuaca pagi cukup panas. Namun, selepas dzuhur, mendung perlahan hadir menjadi 'payung.'
Bukit-bukit yang tampak perkasa mengelilingi desa, seperti ingin ikut menikmati sebuah gelaran budaya yang diselenggarakan Pemerintah Desa (Pemdes) Curahnongko dan warga masyarakat secara gotong royong.
Gelaran tersebut adalah Sedekah Bumi yang dimeriahkan dengan Arak-arakan Gunungan Hasil Bumi, Wayang Ruwatan, dan Gelar Wayang Semalam Suntuk.
Ketiga acara tersebut menunjukkan adanya keseriusan untuk memeriahkan ritual yang sudah beberapa tahun tidak dilaksanakan, baik sebelum atau ketika pandemi. Kepada Desa (Kades) Ismail Nawawi pun mengerahkan aparat pemdes untuk menyukseskan hajatan bersama tersebut.
Sejak pagi, geliat untuk menyiapkan hajatan Sedekah Bumi sudah terasa di desa yang berada di pinggir hutan dan perkebunan kawasan selatan, sekira 1 jam 15 menit dari arah kota Jember. Kades Ismael Nawawi atau biasa dipanggil Kades Wiwhin itu memimpin langsung persiapan di Balai Desa.
Ia mengarahkan para perangkat desa dan warga yang membantu pelaksanaan. Sebagai pemimpin desa, ia tidak ingin hanya main perintah, tetapi terlibat langsung dengan mengarahkan hal-hal yang dirasa belum sesuai dengan rencana.
Sedekah Bumi merupakan ritual tahunan yang diselenggarakan di banyak desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di kawasan seperti Lamongan dan Sragen, orang menyebutnya dengan Nyadran. Di Tuban, masyarakat desa menyebutnya Manganan. Sementara ada juga yang menyebut Bersih Desa.
Substansi dari ritual Sedekah Bumi adalah untuk mengucapkan syukur dan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Mahaesa agar warga masyarakat desa diberikan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.