Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Ngais Gunung: Pengetahuan dan Teknologi Terasering di Jawa Barat

Diperbarui: 2 Juli 2022   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sawah dengan terasering di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sumber: Disparbud Jabar via Kompas.com

AWALAN

Ngais pasir/ngais gunung (Sunda) atau nyabuk gunung (Jawa) merupakan sistem pengelolaan lahan persawasan di kawasan pegunungan dengan model terasering. Di banyak wilayah pegunungan di Indonesia, kita bisa menjumpai sistem terasering. Karakteristik utama terasering adalah tanah yang dijadikan berundak-undak atau bertingkat-tingkat (sengkedan) mengikuti kontur kemiringan tanah gunung. 

Model teras, dalam ranah konservasi, bisa bermanfaat untuk mengurangi panjang lereng yang berfungsi untuk menahan air atau mengurangi kecepatan dan jumlah air di permukaan tanah, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah (Arsyad, 2006). Selain itu, lain terasering yang tidak kalah pentingnya adalah mengendalikan aliran air menuju daerah yang lebih rendah dengan menampung dan menahan air pada lahan miring. 

Dalam konteks Jawa Barat, model terasering yang banyak terdapat di kawasan Panyaweuyan, Majalengka, diyakini menjadi salah satu formula untuk mengatasi permasalahan pertanian di lahan miring serta dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Data tahun 2019, misalnya, menyebutkan bahwa di sektor pertanian di kawasan Bandung utara terdapat 14.600 ha lahan kritis. Bergesernya pertanian ke lereng gunung yang tidak diimbangi dengan teknik pengelolaan tanah di lahan miring pegunungan menimbulkan permasalahan pelik. 

Teknik terasering ngais gunung/ngais pasir bisa menjadi alternatif permasalahan lahan pertanian, meskipun untuk memulainya membutuhkan biaya besar. Itulah mengapa, banyak petani di Bandung utara yang enggan menggunakan teknik terasering (Pamungkas, 2019). Tentu saja persoalan itu bisa dihindari ketika sejak awal para petani di kawasan lereng gunung menggunakan sistem ngais pasir. 

Apa yang menarik adalah perbedaan perspektif antara para petani di Panyaweuyan Majalengka dan Bandung utara terkait praktik ngais gunung. Para petani Panyaweuyan Majalengka yang secara turun-temurun bertani sayur-mayur dengan model terasering bisa kita posisikan sebagai subjek yang memahami pengetahuan lokal terkait bagaimana memuliakan lingkungan agar bisa mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. 

Pemahaman tersebut sekaligus menjadi kesadaran filosofis dalam mensinergiskan makna-makna ekologis dengan teknik-teknik pengelolaan tanah di lereng gunung. Artinya, makna-makna filosofis terkait gunung, air, dan tanah, tidak hanya berhenti sebagai mantra atau petuah-petuah tertentu, tetapi dibawa ke dalam pengalaman praksis yang memungkinkan manusia-manusia lokal menemukan laku sinergi dengan potensi, tantangan, dan permasalahan dalam kehidupan mereka.

Terasering Panyaweuyan Majalengka. Dok. jabar.tribunnews.com 

Pengetahuan yang berasal dari proses mengamati peristiwa dan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sebuah lingkungan, tidak berhenti pada tahapan ontologis dan epistemologis, tetapi berlanjut ke tahapan aksiologis berupa teknik-teknik tertentu untuk mengatur dan mengolah tanah di lahan miring dengan metode ngais pasir. 

Itulah mengapa, ngais pasir di Jawa Barat dan nyabuk gunung di Jawa Tengah, bisa dikatakan sebagai teknologi ekologis-agraris tradisional yang membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kecakapan teknologis berbasis pengetahuan yang menekankan relasi harmonis manusia-Tuhan-alam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline