Pasar Kecamatan Sugio, Lamongan, 1 Mei 2022, jam 07.00 WIB. Saya mengantar istri berbelanja untuk membeli beberapa kebutuhan dapur untuk persiapan lebaran. Suasana pasar begitu ramai, bahkan cenderung sesak di beberapa bagian, seperti lapak penjual bahan makanan dan minuman.
Entah berapa jumlah motor yang diparkir oleh petugas, sampai-sampai mereka harus mencari tempat baru untuk memarkir kendaraan orang-orang yang hendak berbelanja. Suara tawar-menawar di lapak-lapak pedagang menjadi orkestra yang terdengar begitu merdu, meskipun sejatinya mewujud gemuruh.
Warga Lamongan dan mayoritas etnis Jawa menyebut tradisi belanja menjelang Idulfitri prepekan. Aktivitas belanja ini biasanya dilakukan H-3 hingga H-1 Idulfitri. Warga membeli bahan-bahan makanan untuk membuat hidangan di meja, seperti daging sapi, daging ayam, dan keperluan bumbu dapur.
Mereka ingin menghidangkan makanan istimewa untuk anggota keluarga dan kerabat yang bersilaturahmi. Selain itu, makanan dalam toples, biskuit dalam kaleng, aneka jenis kacang tanah goreng dan sangrai, dan jajan buatan pabrik lainnya, tidak luput dari incaran warga. Tidak lupa pula, aneka minuman seperti sirup, teh kemasan, jus kemasan, dan air mineral dibeli untuk melengkapi meja di ruang tamu.
Warna-warni dan model pakaian baru buatan pabrik tidak lepas dari incaran para pembeli. Meskipun banyak kaum muda yang memilih untuk membeli pakaian di mall atau toko-toko busana di kota Lamongan, tidak sedikit pula yang membeli di pasar kecamatan.
Tidak ada dan tidak perlu rasa malu membeli pakaian di lapak-lapak pasar, karena apa yang terpenting adalah bisa mengenakan pakaian baru ketika berjumpa dengan banyak kerabat dan tetangga dalam ajang kluputan, silaturahmi untuk saling meminta maaf. Mengenakan baju baru bisa memberikan kesan percaya diri ketika harus berjabat tangan dengan kerabat dan tetangga.
Tidak seperti dua tahun sebelumnya, lebaran tahun ini terasa istimewa karena pemerintah sudah melonggarkan aturan protokol kesehatan terkait Covid-19. Akibatnya, warga tumpah ruah memenuhi pasar-pasar kecamatan di seluruh Lamongan.
Bagi masyarakat, merayakan hari raya tanpa membuat makanan enak, sesederhana apapun, terasa kurang afdol. Begitupula dengan pakaian yang akan dikenakan sewaktu sholat Ied dan halal bi halal tidak pantas kalau tidak baru.
Mungkin ada yang menganggap tradisi tersebut sebagai pemborosan karena warga masyarakat harus mengeluarkan uang yang cukup banyak hanya untuk makanan, minuman, dan pakaian. Tradisi inilah yang ditangkap oleh pihak industri untuk menyediakan bermacam keperluan makanan, minuman, dan pakaian ketika lebaran.
Mereka mengkomodifikasi kebiasaan masyarakat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan warga terjebak dalam tradisi pamer yang bisa memperlebar jurang si kaya dan si miskin. Tentu saja, cara pandang demikian sah-sah saja.