Meskipun saat ini Nganjuk terkenal dengan orkes jaranan dangdut, kabupaten ini tetap pula dikenal sebagai salah satu basis pertunjukan tayub di Jawa Timur. Karena pertunjukan tayub yang bisa memberikan rezeki finansial kepada para sinden-nya, masih banyak perempuan muda di wilayah ini yang sangat ingin menjadi sinden atau "waranggono", meskipun secara kuantitas tidak sebanyak pada masa Orde Baru.
Hal itu lebih disebabkan, sekali lagi, stigma negatif yang melekat pada diri seorang waranggono. Maka, dengan alasan untuk memberikan bekal kepada para calon waranggono dan menata tayub sebagai salah satu aset budaya daerah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nganjuk setiap tahun menyelenggarakan Gembyangan Waranggono yang diselenggarakan di di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom.
Dulunya, acara ini merupakan bagian integral dari ritual "bersih desa" yang diselenggarakan setiap bulan Besar dalam kalender Jawa. Oleh pemerintah kabupaten, sejak zaman Bupati Sutrisno, dijadikan agenda resmi wisata budaya kabupaten dengan kegiatan yang sudah diperbaiki sedemikian rupa, sehingga menarik secara tampilan.
Namun, sebelum menjadi agenda resmi pariwisata Nganjuk, Gembyangan Waranggono ini memiliki sejarah panjang yang diwarnai kisah-kisah beraroma adikodrati yang sulit untuk diterima nalar modern.
Menurut Trisnawati (2013: 60-63), Gembyangan Waranggono tidak bisa dilepaskan dari tradisi bersih desa yang ada di Dusun Ngrajek. Para pembabat hutan memilih untuk bermukim di Ngrajek karena di sini terdapat banyak mata air. Salah satu mata air yang besar kemudian dinamakan "Sumur Agung" atau "Ageng" (besar).
Sebagai manusia agraris, penduduk tidak lupa menggelar slametan sebagai ungkapan syukur akan melimpahnya air di Sumur Agung. Mereka membersihkan sumur dan sekaligus menggelar slametan di dekatnya. Setelah slametan, acara dilanjutkan dengan pagelaran langen tayub, dengan dua tandhak yang menari mengitari sumur 10 kali. Dipilihnya hari Jum'at Pahing juga memiliki juga memiliki cerita sendiri.
Pada hari Kamis Legi, Mbah Otho, penjaga sumur, melihat seekor rusa yang gemuk dalam kondisi cidera. Dia menangkap dan menyembelih rusa itu. Dagingnya kemudian dimasak digunakan untuk slametan bersih desa. Maka, esok harinya, pada Jum'at Pahing, penduduk menggelar tayuban. Sejak itulah bersih desa diadakah pada Jum'at Pahing Bulan Besar.
Adapun digelarnya Gembyangan Waranggono yang berbarengan dengan bersih desa di Ngrajek juga memiliki ceritanya sendiri. Menurut Utomo dan Suparwoto (2016: 10), pada tahun 1934 menjelang pelaksanaan bersih desa, para pinisepuh kesulitan untuk mendatangkan dua penari tayub sebagai salah satu sarana wajib untuk menggelar ritual.
Sebagai masyarakat lisan, tentu mereka bingung karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada saat bersamaan, terdapat dua anak perempuan yang sedang sakit parah, bernama Markawit (11 tahun) dan Jaminem (10 tahun). Entah didorong oleh alasan apa, Markawit dan Jaminem meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk menari dalam pagelaran tayuban di sumur Mbah Agung.
Ketika orang tua mereka menyampaikan niatan itu, para pinisepuh segera menyetujuinya. Setelah mandi di sumur Mbah Ageng, mereka segera menari layaknya tandhak terlatih. Sesudahnya, mereka berdua langsung sembuh. Para pinisepuh dan warga pun terheran-heran mendapati kenyataan tersebut.
Dalam perkembangannya, kedua tandhak itu juga belajar gendhing-gendhing (tembang) agar kualitas mereka semakin baik. Menurut Trisnawati (2013: 64) peristiwa yang dialami oleh dua bersaudara tersebut menjadi dasar bagi para pinisepuh dusun untuk mendidik calon-calon waranggono yang setiap acara bersih desa dibutuhkan.