Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Keberantaraan, Ambivalensi, dan Hibriditas Budaya dalam Pandangan Bhabha

Diperbarui: 4 Februari 2022   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Homi Bhabha, intelektual pascakolonial, dalam sebuah seminar. Dok. eusp.org

"Melampaui" bukan berarti cakrawala baru ataupun meninggalkan masa lalu... Kita menemukan diri kita pada momen transisi di mana ruang dan waktu saling melintasi untuk memproduksi figur-figur kompleks dari perbedaan dan identitas, yang di dalam dan yang di luar, inklusi dan eksklusi...di sini dan di sana...ke belakang dan ke depan...

Apa yang secara teoretis inovatif dan secara politis amat mendesak adalah kebutuhan untuk berpikir melampaui narasi-narasi terkait subjektivitas asli dan awal serta memfokuskan pada momen-momen atau proses-proses yang diproduksi dalam artikulasi perbedaan kultural. 

Ruang antara ini menyediakan tempat untuk mengelaborasi strategi-strategi kedirian (tunggal maupun komunal) yang memunculkan tanda baru identitas serta situs inovatif kolaborasi dan kontestasi dalam mendefinisikan ide tentang masyarakat. (Bhabha, 1994a: 1-2)

Untuk membincang pemikiran-pemikiran Homi Kharshedji Bhabha, pakar kajian pascakolonial kelahiran India, salah satu kata kunci pentingnya adalah konsep "melampaui" yang mendasari konstruksi teoretis tentang ambivalensi, keberantaraan, mimikri-ejekan, dan hibriditas. 

Begitu pentingnya konsep ini, sampai-sampai Bhabha menjadikannya bahasan awal, seperti dikutip di atas, dalam magnum opus-nya, The Location of Culture (1994), yang berisi pemikiran-pemikirannya sejak periode 1980-an sampai 1990-an. 

Dengan konsep "melampui", Bhabha memosisikan "budaya" sebagai proses di "ruang-antara" (in-between space) di mana ia berada dalam kolaborasi sekaligus kontestasi antara masa kini dan masa lampau. 

Budaya juga berada di antara apa yang berlangsung di dalam dan di luar masyarakat; di antara yang bisa di-inklusi dan yang di-ekslusi; di antara yang tradisional dan yang modern; ataupun di antara yang lokal/nasional dan yang metropolitan/global. 

Artinya, budaya bukan sekedar nilai, ide, dan tindakan dari masa lampau yang bersifat utuh dan murni, bukan pula sekedar apa-apa yang didapatkan dari masa kini. 

Dari proses saling melintasi garis-batas perbedaan (bukan berarti melebur sepenuhnya), budaya menjadi proses yang melampaui subjektivitas asli yang dengannya masyarakat sebagai subjek bisa mengkonstruksi strategi kedirian di tengah-tengah perbedaan dan kekuasaan yang menjadikan mereka subordinat.

Dari konsep "melampaui" itu pula Bhabha berusaha membongkar sekaligus 'mengganggu' keutuhan pengetahuan budaya yang dituliskan dan diwacanakan dalam formasi biner sebagai fondasi bagi keberlangsungan kekuasaan oleh kelompok dominan, baik di masa kolonial maupun pascakolonial. 

Perbedaan budaya antara penjajah dan terjajah atau antara pihak dominan dan pihak marjinal dieksploitasi untuk menegaskan keunggulan pihak pertama dan kepatutannya untuk menindas pihak kedua.

Pada titik inilah, Bhabha yang mendasarkan teorinya pada pemikiran-pemikiran pascastrukturalis melakukan "dua kesadaran", teoretis dan historis. 

Apa yang saya maksudkan dengan "kesadaran teoretis" adalah bahwa memang benar ia menggunakan teori wacana/pengetahuan/kuasa Foucault, psikoanalisis Lacan, dan dekonstruksi Derrida yang banyak mendiskusikan persoalan pembentukan "subjek" (individu/manusia, wacana/pengetahuan, dan budaya) dalam latar metropolitan Barat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline