IDENTITAS, MULTIKULTURALISME, REZIM PASAR & PENTINGNYA PEDAGOGI KRITIS
Dalam masyarakat multikultural, ketika batas dan zona lama terkait perbedaan mulai terganggu kemapanannya, pertanyaan tentang budaya diarahkan kepada isu kekuasaan, representasi (produksi makna atau wacana melalui bermacam karya kultural), dan identitas. Maksudnya, cara berpikir tentang kebudayaan tidak hanya berhenti pada kekayaan estetik, praktik hidup, ritual ataupun nilai-nilai bersama.
Lebih dari itu, di dalam kebudayaan, kita bisa menemukan bermacam makna, wacana, pengetahuan, dan praktik yang berkaitan dengan kompleksitas dan dinamika kehidupan di mana faktor identitas dan kekuasaan memainkan perannya. Dalam semua praktik kebudayaan tersebut bisa kita temukan para pelaku yang memainkan kepentingan mereka melalui produk representasional (produk sastra, media, film, dll) maupun praktik sehari-hari.
Trend kultural yang sebelumnya dipandang dominan dan mapan dalam wacana modernis seperti "kemajuan", "universalisme", dan "objektivisme", tengah diinterogasi sebagai medan tempat berpijak ideologi yang digunakan untuk mengawasi serta memunculkan labelisasi terhadap kelompok subordinat, wacana oposisi dan gerakan sosial yang berbeda.
Bermacam resistensi terhadap kebenaran kanon akademik dan kebudayaan serta perjuangan para pendukung multikulturalisme untuk memperluas hak-hak kelompok sosial baru mendominasi lanskap pengetahuan, politik, dan ideologi saat ini. Dalam kondisi demikian, pertaruhan dalam pertarungan tersebut jauh melebihi kepentingan-kepentingan partikular yang melahirkannya sebagai subjek perdebatan, baik yang mewujud dalam lingkungan akademis, seni, atau bidang kehidupan lainnya.
Artinya, muncul bermacam wacana dan kepentingan yang ikut dikontestasikan dan digerakkan untuk mendapatkan keuntungan tertentu oleh pihak-pihak yang bermain. Bahkan, kelompok dominan yang menjadi sasaran kritik karena memapankan ketidaksetaraan berbasis politik, ekonomi, pengetahuan, dan budaya pun ikut bermain.
Kalau ditelisik lebih dalam lagi, apa yang mendasari tumbuh-suburnya beragam dan berbagai pertarungan ini adalah konflik yang lebih rumit terkait hubungan antara demokrasi dan budaya, di satu sisi, dan identitas dan politik representasi di sisi lain. Demokrasi mengidealisasi tata pemerintahan yang setara untuk semua warga negara tanpa memandang ras, etnis, ataupun status sosial mereka.
Namun, idealisasi tersebut berbenturan dengan realitas budaya yang menempatkan kelompok dominan berbasis ekonomi, politik, ataupun pengetahuan dalam posisi hegemonik. Sementara, identitas yang menjadi arena untuk pembedaan kultural di mana kelompok dominan, penjajah, patriarkal, kulit putih, memainkannya untuk keuntungan ekonomi dan politik mereka juga tengah mendapatkan pemaknaan baru oleh kelompok subordinat.
Mereka memperjuangkan subjektivitas dan kepentingan mereka dengan identitas berbasis budaya yang dulu ditundukkan dan dimarjinalisasi. Masalahnya, praktik representasi melalui bermacam kesenian, pengetahuan, film, dan media masih memungkinkan kelompok dominan memainkan kepentingan mereka. Dengan demikian, janji dan tujuan ideal multikulturalisme bukanlah persoalan mudah di tengah-tengah kompleksitas persoalan budaya dan representasi tersebut.
Tulisan Henry A. Giroux, "Living dangerously: Identity politics and the new cultural racism: Towards a critical pedagogy of representation" (1993), merupakan respons terhadap perubahan ataupun pergeseran arah dalam dinamika dan politik kultural di negara-negara maju.