Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Layangan dan Masalah Politik dalam Musik Banyuwangian Pascareformasi

Diperbarui: 11 Maret 2022   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Festival Layang-layang Banyuwangi 2016. Dok. Kompas.com

Meskipun pada masa pascareformasi lagu-lagu bertema cinta yang melow dan menyayat hati mendominasi industri musik Banyuwangian, bukan berarti lagu-lagu bertema masalah sosial, ekonomi, politik serta budaya lokal tidak dihadirkan oleh para pencipta. Yon's DD dan Catur Arum termasuk pencipta lagu berani menghadirkan wacana politik dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan. 

Mereka berdua, dalam album Patrol Orkestra Banyuwangi yang cukup fenomenal, memasukkan lagu Layangan. Lagu ini sangat sederhana, bertutur tentang tradisi main layang-layang rakyat Banyuwangi. Bermacam bentuk, warna, dan motif menjadi lukisan indah di angkasa ketika musim kemarau tiba. Anak-anak sampai orang tua bertemu untuk memainkan layang-layang. 

(I) Usum, usum, usum layangan
Bola digelas dienggao pendetan
Aran ganjur dawa-dawaan
Sangkrahe carang wit-witan

(II) Pong-lampong nang awang-awang
Pertanda pedhot aran layangan
Yo hang ngadhang sepirang-pirang
Lare-lare padha rebutan

Reff:
Ana abang (hei), ana kuning
Ana ijo (hei), ana putih
Macem-macem kelire

Ana palang (hei), ana cunduk
Ana kop-kopan (hei), sawi-sawaian
Macem-macem gambare

Pedhote layangan, sing dadi paran
Tapi aja sampek pedhot seduluran

Gerakan Reformasi 1998 memang berhasil menumbangkan rezim otoriter-represif Orde Baru dan memberikan kebebasan kepada warga negara dalam mengekspresikan keinginan dan hak mereka. Termasuk di dalamnya hak untuk berpolitik. Pascareformasi ditandai dengan banyaknya partai politik, sampai lebih dari 20 partai. 

Di satu sisi, ini membuktikan bahwa rezim negara membebaskan warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan berpartai sesuai dengan kehendak dan rasionalitas masing-masing orang. Rezim tidak mau membatasi partai politik berjumlah tiga seperti pada masa Orde Baru. 

Kondisi multipartai inilah yang menjadi rujukan kontekstual dari lirik "usum, usum layangan" (musim musim layang-layang) dalam lagu Layangan yang dilengkapi beberapa ungkapan seperti “macem-macem kelire” (bermacam warna), “macem-macem gambare” (bermacam gambar).

Permainan yang sangat digemari ini dijadikan ungkapan untuk merepresentasikan beragam partai politik dan dinamika masyarakat dalam menyambut kehadiran mereka. Pilihan untuk menggunakan diksi "layangan" sebagai muatan utama dan judul lagu merupakan strategi untuk membuat lagu bernuansa sosial-politik tidak perlu dicurigai macam-macam. 

Namun, sebagian besar orang yang mendengarnya paham bahwa lagu ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa pilihan partai tidak harus menjadikan mereka bercerai-berai. Apalagi sampai "pedhot seduluran", memutuskan persaudaraan dan persahabatan. Sungguh sangat naif. 

Partai dan peristiwa politik seperti Pemilu merupakan realitas yang bersifat dinamis dan penuh kepentingan. Sangat disayangkan kalau hanya karena membela partai politik ataupun calon legislatif, calon presiden/wakil presiden, calon gubernur/wakil gubernur, dan calon bupati/wali kota, ikatan persaudaraan, pertemanan, dan kehidupan bermasyarakat menjadi retak.  

Dengan kata lain, wacana lokalitas berupa layangan bisa dieksplorasi oleh Yon’s dan Catur untuk menghadirkan permasalahan sosial-politik bagi warga masyarakat. Mereka mengingatkan bahwa masyarakatlah yang berhak menentukan dan mengendalikan proses berpolitik. Dan, apapun yang terjadi dalam proses politik tersebut, masyarakat harus tetap mengedepankan kebersamaan dan kesatuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline