MUSIK BANYUWANGIAN PASCAREFORMASI
Para musisi muda Banyuwangi yang berproses-kreatif pada masa menjelang dan sesudah Reformasi 1998 (era 2000-an awal) hingga saat ini adalah generasi musisi yang tumbuh dalam zaman transformasi, di mana budaya global/modern semakin biasa dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah terbiasa dengan musik modern. Di sisi lain, mereka juga masih biasa mendengarkan lagu-lagu kendang kempul maupun lagu-lagu gandrung yang sudah dikasetkan dan sangat populer di Banyuwangi sejak era Orde Baru.
Meskipun demikian, mereka juga tidak menutup mata bahwa kaum remaja dan kaum muda Banyuwangi, umumnya, semakin familiar dengan g musik populer yang 'digerakkan' dari pusat, Jakarta. Sebagai subjek, kreativitas mereka tentu tidak akan bisa lepas dari pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut.
Pengaruh diskursif dan estetik kesenian pop-industrial dari negara-negara asing dan Jakarta ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal tentu mempengaruhi warna dan perkembangan budaya lokal. Kemampuan meramu pengaruh budaya global dengan kekayaan budaya lokal merupakan strategi dan siasat yang dimainkan oleh para musisi muda Banyuwangi.
Kalaupun, kemudian dikatakan mereka terhegemoni, itu karena mekanisme industri musik yang memang mempunyai karakteristik untuk selalu mengambil dan menggunakan kekayaan tradisi dan modernitas demi memenuhi kepentingan kapital mereka. Yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi adalah bagaimana mereka mengkonstruksi lokalitas dalam bermusik menghadapai pengaruh berbacam wacana dan estetika pasca Reformasi yang semakin kompleks ini.
Para seniman musik Banyuwangian (pencipta lagu, penulis lirik, dan musisi) merupakan kelompok kreatif yang mampu memadukan pengaruh musik dari luar dengan tradisi musik lokal yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk-produk hibrid yang oleh masyarakat setempat tetap diyakini sebagai bagian sah dari kebudayaan Banyuwangian (Setiawan, 2007).
Formula dan konsensus kultural dalam masyarakat dalam memposisikan kesenian hibrid, seperti musik populer Banyuwangian yang sekarang sedang trend merupakan penanda bahwa masyarakat di ujung timur Jawa ini mudah mengadaptasi dan mengapropriasi kehadiran budaya luar. Kenyataannya, musik hibrid memang sangat digemari sehingga bisa menjadi kekuatan kultural baru untuk menegosiasikan ke-Usingan ke dalam gerak masyarakat yang sedang bertransformasi ke dalam medan wacana budaya global.
Sariono, Subaharianto, Saputra, dan Setiawan (2009) menjelaskan bahwa era 2000-an bisa dibaca sebagai babak baru dalam industri musik Banyuwangian yang tidak bisa dipisahkan dari semakin populernya teknologi VCD player di masyarakat. Kemampuan ekonomis masyarakat untuk membeli televisi dan VCD player buatan Cina yang relatif murah, mendorong beberapa pengusaha rekaman di tingkat lokal memulai aktivitas produksinya dalam bentuk VCD.
Pilihan jenis kesenian yang diproduksi secara massif dalam kepingan VCD adalah lagu atau tembang Banyuwangian. Pada awalnya, pilihan jatuh pada lagu-lagu kendang kempul, seperti Gelang Alit, Kembang Galengan, Bantalan Tangane, Sing Ono Jodoh, Surat Kawitan, Impen-impenan, Ugo-ugo, Rehana, Ulan Andung-andung, dan yang lain.