Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertunjukan tayub di Lamongan. Foto: Dok. Pribadi

DARI PERTUNJUKAN MEMAHAMI WACANA

Tayub Jawa Timur-an, meskipun mengalami pasang-surut dalam perkembangannya, masih bisa bertahan sampai saat ini. Sebagai tari pergaulan yang berasal dari ritual kesuburan sebagai penghargaan terhadap Dewi Sri (Suharto, 1999), tayub telah bertransformasi sebagai kesenian rakyat yang populer. 

Meskipun banyak mendapat kritik terkait gerak tari erotis dan konsumsi minuman beralkohol selama pertunjukan, tayub masih sangat digemari di banyak kabupaten di Jawa Timur, seperti Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Nganjuk, Tulungagung, Kediri, Blitar, Malang, maupun Lumajang. 

Sebagai kesenian rakyat, tayub tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat pendukungnya; masyarakat perdesaan. Pada masa awal Orde Baru, pertunjukan tayub masih menggunakan pengeras suara (loudspeaker), tidak seperti sekarang yang menggunakan sound system canggih. 

Para tandak/waranggono seringkali mendapatkan godaan fisik dari para penayub yang tengah mabuk. Tidak ayal lagi, terjadi adegan-adegan erotis seperti ciuman atau memasukkan uang melalui penutup payudara (BH). Seiring perkembangan siar agama Islam, adegan-adegan erotis tayub perlahan mulai dihilangkan, kecuali tradisi menenggak minuman beralkohol. Negara melalui kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan, sedikit banyak, memiliki andil dalam menata tayub sebagai hiburan massa.

Pada era 2000-an, tayub tetap menjadi selera kultural masyarakat desa, dari generasi tua hingga generasi muda. Pada hajatan keluarga, ritual desa, maupun peringatan 17-an, pertunjukan ludruk masih mudah dijumpai pada beberapa kabupaten yang kami sebutkan sebelumnya. 

Artinya, di tengah-tengah perubahan kultural masyarakat desa menuju modern tayub masih memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Para tandak/waranggono-nya juga sebagian besar berusia muda. Meskipun banyak stigma masih dilekatkan kepada mereka, para tandak seperti tidak mau menghiraukan karena dari profesi itu mereka bisa mengumpulkan rezeki berlimpah dan mengubah nasib keluarga. 

Pertunjukan tayub menjadi sumber ekonomi kreatif yang memiliki kontribusi penting bagi para seniwati dan senimannya. Meskipun tanpa ditopang oleh campur tangan negara, para tandak/waranggono dan para pengrawit mampu mengeruk rezeki untuk memberdayakan keluarga mereka.

Dalam pertunjukan tayub terdapat pihak-pihak yang cukup berperan. Mereka adalah (1) pramugari/gedhong, (2) tandhak (tledhek, sinden, waranggono, ronggeng), (3) pengrawit (panjak), dan (4) pengibing/tukang bekso. Pramugrari adalah sebutan untuk lelaki yang bertugas mengarahkan pagelaran tayub agar berlangsung secara tertib. Dia pula yang mengatur giliran menari bagi para pengibing. 

Tandhak adalah penari yang sekaligus penyanyi (penembang) dalam pertunjukan tayub yang mendapatkan penghasilan dari keahliannya untuk menari dan nembang menemani para pengibing. Untuk mendapatkan ketrampilan dan keahlian menari dan nembang, para calon tandhak biasanya nyantrik kepada para tandhak senior yang laris (sering tanggapan) dan telah mapan dalam penguasaan etika pertunjukan tayub. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline