KELISANAN SEBAGAI REALITAS KULTURAL
Di sadari atau tidak, kelisanan merupakan bagian keseharian dari kehidupan manusia hingga saat ini. Meski tradisi tulis sudah diperkenalkan semenjak dulu melalui institusi sekolah dan buku-buku cetak, namun masyarakat ternyata tidak bisa lepas sepenuhnyan dari kecenderungan menggunakan tradisi lisan dalam banyak ekspresi kulturalnya. Bahkan dalam budaya internet atau media baru saat ini dengan mudah kita temui transformasi tradisi lisan ke dalam galaksi digital.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa dalam komunikasi manusia masih banyak tergantung pada bahasa bunyi atau mengikuti model bunyi untuk bisa mempercakapkan gagasannya dengan manusia lainnya. Akibatnya banyak karakteristik lisan yang masih terbawa hingga saat ini. Kelisanan dengan demikian telah menjadi bagian dari kultur manusia yang melahirkan keunikan tersendiri.
Dari zaman purba hingga modern, kelisanan selalu muncul dan menjadi bagian dari praktik budaya masyarakat. Dengan tradisi lisan, masyarakat kuno menciptakan cerita dalam wujud dongeng atau legenda yang menjadi epos tersendiri bagi mereka. Mereka begitu meyakini kehebatan cerita tersebut meskipun cerita tersebut hanya diceritakan sebagai pengantar tidur. Melalui tradisi lisan pula, mereka mampu mempertahankan mantra-mantra ritual yang dianggap sakral dan oleh banyak masyarakat masih dipertahankan hingga saat ini.
Dalam masyarakat modern, kita juga banyak menemukan betapa para juru kampanye, misalnya, berusaha membius para calon pemilih dengan kata-kata lisan yang disertai dengan tindakan-tindakan gestural yang begitu memikat. Bahkan seorang akademisi yang nota bene-nya merupakan representasi dari budaya tulis seringkali berhasil meyakinkan para koleganya dalam seminar dengan bahasa lisan dan mimik yang memukau. Sepandai apapun seseorang dalam hal teori, ketika ia kurang berhasil dalam mensosialisasikannya, maka ia dianggap kurang berhasil sebagai seorang ilmuwan.
Kondisi tersebut tentu saja menyisakan satu pertanyaan, mengapa kelisanan, dalam hal ini adalah kelisanana pertama (primary orality), menjadi begitu penting dalam masyarakat? Bisa ditebak, pasti terdapat karakteristik-karakteristik yang menjadikannya menjadi penting.
Tulisan ini berusaha mendiskusikan beberapa karakteristik kelisanan sebagaimana yang dijelaskan Walter J. Ong dalam Orality and Literacy, The Technologizing Words (1982, Routledge). Dengan menemukan karakterisik-karakteristik tersebut sekaligus memberikan contoh-contohnya kita akan bisa memahami implikasi kultural kelisanan bagi masyarakat.
BUNYI SEBAGAI KEKUATAN DAN TINDAKAN
Bayangkan kehidupan tanpa bunyi. Pastilah semua menjadi sangat sunyi, begitu senyap. Begitupula manusia ketika tidak punya kemampuan untuk membunyikan gagasannya dalam pikirannya, maka bisa dipastikan tidak akan ada relasi dan komunikasi sosial, dan tentu saja, tidak akan ada kehidupan. Bunyi, dengan demikian, menjadi penanda utama bagi berlangsungnya tradisi kelisanan dalam masyarakat.
Dengan bunyi atau suaralah, pada awalnya manusia yang belum mengenal keberaksaraan mengidentifikasi benda-benda ataupun manusia lainnya untuk kemudian memberikan mereka nama atau label. Misalnya manusia memberikan nama hewan berkaki empat dengan suara mengembik dengan nama kambing.