MENIKAM PUISI
Kau boleh berpikir ini cara tepat menikam puisi: melarungnya bersama kembang tujuh warna. Namun, sebaiknya, kita eja-kembali percakapan yang direkam getaran samudra menjelang petang ketika kau sampaikan ingin membongkar rumah tua di dekat pantai; rumah yang menjadi tempat menikmati kemakmuran orang-orang pencari berkat.
Ini bukan cara yang tepat untuk menikam puisi. Ada angin yang akan menyambutnya dalam kehidupan sederhana yang dibaluri perjuangan semesta. Ada para penjaga yang perlahan-lahan membawanya pada ketakterhinggaan bersama ombak senyap yang terus menggerakkan nafas.
Saat itulah kau akan mendapati kenyataan, puisi itu beranak-pianak dalam bimbingan nafas para nelayan yang selalu memeluk doa anak dan istri. Saat itulah kau akan melihat, semua pengkhianatan yang hendak menikam puisi akan menemukan hukumnya sendiri.
Kalau tubuhmu menggigil, segeralah mengambil cermin retak, berlarilah menuju muara: ada logika yang harus kau tangkap dalam semedi.
Jember, 17 Desember 2019
DI AMBANG BATAS
Senandung purba tentang kedamaian selalu saja kita bawa. Ada rindu yang menuntut kepada hijau, kepada tanah, kepada air, kepada lumpur, kepada udara. Selalu saja kita endapkan pada impian menjelang senja selepas subuh.
Terlalu sering kita lupa ada batas-batas yang mulai luntur: ada rumah di kaki gunung, ada tembok di tengah sawah, ada luka menikam dingin.