Mungkin banyak di antara kita selama ini memahami identita budaya yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat adalah sesuatu yang tidak mungkin berubah. Bahasa, kesenian, religi, dan ritual seringkali dijadikan legitimasi identitas seseorang yang terhubung dengan komuitas, masyarakat, atau bangsanya.
Padahal, identitas etnis bukanlah nilai, orientasi, dan praktik kultural yang berada dalam 'zona mapan'; tetap, pasti, tidak berubah, dan dipahami sama oleh semua anggota etnis. Dari masa kolonial hingga pascakolonial, identitas etnis merupakan entitas dinamis, transformatif, penuh tegangan, atau bahkan, berubah sesuai dengan konteks historis yang melingkupinya.
Kehadiran kekuatan-kekuatan luar yang bersifat dominan, menindas, dan membahayakan eksistensi sebuah kelompok etnis memang bisa menjadi sumber awal lahirnya solidaritas komunal yang dikembangkan melalui mobilisasi kesamaan bahasa, ritual, maupun norma dan kode lain.
Meskipun demikian, kondisi tersebut bisa juga ditransformasi oleh para pelaku kultural ketika mereka menemukan peluang-peluang baru untuk menegosiasikan keunikan dan kekuatan etnis mereka di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang bersifat kontekstual.
Dalam semangat tersebut, banyak kelompok etnis yang mengidentifikasi dan membangkitkan-kembali kekayaan kultural arkaik, baik yang sudah lama ditinggalkan ataupun yang dulunya hanya menjadi ritual terbatas.
Adapun alasan yang seringkali dikemukakan oleh para aktor kultural adalah, pertama-tama, untuk "melestarikan" dan "mempertahankan" jati diri etnis serta memajukan pariwisata budaya yang mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat lokal.
Maka, identitas etnis yang pada awalnya diharapkan menjadi kekuatan politiko-kultural bagi penguatan dan pemberdayaan komunal memang tidak bisa lagi diposisikan secara esensial, tetapi penuh negosiasi dan kepentingan atau bahkan konflik yang tidak hanya melibatkan para aktor, tetapi juga anggota komunitas, rezim negara, dan kelas pemodal.
Dalam kerangka pemikiran itulah, saya akan membincang genealogi Using dari era kolonial. Meskipun demikian, sebagai sebuah identitas, Using yang terus-menerus mengalami 'inflasi' dan valorisasi semenjak era Orde Baru; terus ditransformasikan oleh para pelaku budaya, intelektual dan tokoh adat di tengah-tengah tegangan yang seringkali terjadi.
Warisan Kolonial yang Problematis
Tidak diragukan lagi, warga dan masyarakat Using merupakan kekuatan penyangga dinamika kebudayaan Banyuwangi. Berbagai macam atraksi kultural, dari kesenian, ritual, hingga karnaval, yang selama ini dikonstruksi sebagai identitas Banyuwangi banyak berasal dari masyarakat Using.
Meskipun di kabupaten ini terdapat komunitas Jawa (khususnya Mataraman dan Panaragan), Madura, dan sebagian kecil China, Melayu, Mandar, Bugis, Bali, dan Arab, komunitas Using-lah yang selama ini dianggap memberikan kontribusi bagi warna sosio-kultural Banyuwangi.