Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Menginvestasi Lokalitas: Narasi dan Wacana Sastrawi di Jawa Timur

Diperbarui: 11 November 2021   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokumentasi DeKaJe

Awalan

Saya sengaja mengambil tema "lokalitas" (budaya, masyarakat, dan permasalahan lokal) untuk tulisan ini dengan beberapa alasan. Pertama, masyarakat dan budaya lokal di Jawa Timur tidak bisa lagi dikonstruksi secara beku, karena pengaruh modernitas dan globalisasi yang menghadirkan kompleksitas dalam persoalan sosial, ekonomi, dan kultural, sehingga lokalitas menjadi ruang-antara yang diwarnai dengan negosiasi ketradisian, transformasi budaya modern, dan hasrat-hasrat untuk survive di tengah-tengah gerak perubahan zaman (Setiawan, 2013, 2009, 2011). 

Kedua, sebagai implikasi dari pascamodernitas masyarakat di negara-negara maju dan kota-kota besar di Indonesia yang ditandai dengan kerinduan terhadap eksotika pedalaman, ketradisionalan, dan ke-primitif-an, lokalitas menjadi 'tema seksi' dan komoditas laris dalam industri budaya, termasuk dalam banyak kasus industri sastra. 

Ketiga, perlu kiranya untuk membaca secara kritis konstruksi lokalitas dalam sastra untuk bisa melihat bagaimana para penulis Jawa Timur merespons dan menegosiasikan wacana terkait dinamika dan permasalahan masyarakat lokal. Dari pembacaan tekstual-kontekstual akan bisa dilihat kecenderungan ideologis dari para penulis dalam menyikapi persoalan lokalitas dalam masyarakat.

Berangkat dari pertimbangan di atas, dalam tulisan ini saya tidak hendak menawarkan kajian mendalam tentang sebuah karya sastra yang berlatar atau ditulis sastrawan Jawa Timur. Alih-alih, saya lebih memilih untuk menawarkan beberapa cara pandang poskolonial untuk 'membedah' persoalan lokalitas yang dikonstruksi secara diskursif dalam struktur karya sastra yang berlatar Jawa Timur. Saya akan menjadikan beberapa karya sastra yang diproduksi pada era Reformasi, periode 2000-an, sebagai sumber data untuk memperkuat cara pandang tersebut. 

Beberapa kerangka poskolonialisme yang saya gunakan adalah (1) produksi wacana/pengetahuan ketradisionalan di tengah-tengah gerak modern masyarakat lokal dan (2) keberantaraan, ambivalensi, dan hibriditas kultural. Tujuan utama dari penggunaan kedua cara pandang poskolonial adalah untuk membuka kompleksitas wacana yang berasal dari struktur naratif karya sastra dan keberjalinkelindanannya dengan konteks sosio-kultural masyarakat, sehingga bisa menawarkan analisis kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan politiko-ideologis yang dinegosiasikan sebagai kebenaran secara naratif dan diskursif.

Lokalitas dalam Tatapan Poskolonial 

Sementara di masa kolonial eksotisisme, ketradisionalan, dan ke-primitif-an diposisikan sebagai konstruksi intelektual Barat, termasuk di dalamnya para sastrawan, terhadap dunia Timur yang harus ditaklukkan sekaligus di-cerah-kan dengan logika modern (Said, 1978, 1994; Weaver-Hightower, 2007; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998), di masa pascakolonial eksotisisme menempati posisi multi-ambivalen. 

Di satu sisi, keindahan alam, keberbedaan tradisi, dan keragaman ritual dalam masyarakat lokal merupakan kekuatan kultural untuk memupuk identitas sekaligus menyemaikan nasionalisme sebagai fondasi untuk memperkuat proyek-proyek kebangsaan yang terbebas dari beban masa lalu kolonial.  Di sisi lain, masyarakat juga bergerak dinamis sebagai akibat pertemuan dengan modernitas, sehingga tradisi beraroma takhayul dan feodal yang bisa menghambat cita-cita pembangunan menuju manusia Indonesia modern mulai mendapatkan tantangan. 

Di luar dua kecenderungan tersebut, menguatnya posmodernitas yang ditandai oleh ketidakterpusatan dan keterpecahan subjek metropolitan menjadikan kerinduan terhadap budaya tradisional, ke-eksotis-an, ke-primitif-an sebagai konsep-konsep kunci yang mendekonstruksi kebenaran narasi besar modernitas mewarnai kehidupan kontemporer (Lyotard, 1984; Featherstone, 2007). Implikasinya, industri sastra dan budaya menemukan formula ketradisionalan sebagai bahan untuk membincang-ulang masyarakat sekaligus untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline