Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Erupsi Bromo dalam Nalar Masyarakat Tengger

Diperbarui: 18 November 2021   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Bromo. Foto: Dokumentasi Kompas.com

Selepas Erupsi 2010-2011

Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pasca-erupsi Gunung Bromo, 28 Juli 2011. Ladang-ladang sayur di wilayah yang masuk dalam kategori desa Tengger ini masih diselimuti pasir bercampur debu tebal. Para petani belum bisa menanam sayur-mayur, seperti kentang, kubis, tomat, dan wortel. 

Mereka hanya bisa menanam bawang pre yang tampak hijau. Tidak seperti hari-hari biasa pra-erupsi, di ladang tidak tampak banyak petani beraktivitas. Tebalnya debu dan pasir vulkanik menjadikan mereka harus menunggu untuk beberapa saat lamanya, sampai hujan turun dan mengguyur ladang, mengurangi volume debu dan pasir vulkanik. 

Letusan Bromo memang di luar dugaan warga, bahkan dhukun pandita (ketua adat) sekalipun. "Tidak biasanya Bromo seperti ini, benar-benar di luar kebiasaan, kami benar-benar rugi," celetuk salah satu warga. Bahkan, ketika bertanya kepada Koordinator Dhukun Pandita seluruh kawasan Tengger, Mujono (meninggal tahun 2014), perihal 'kemarahan Bromo' yang mengakibatkan kerugian besar para petani sayur, ia hanya bisa memberi jawaban beraroma kosmologis bahwa "para arwah penjaga di Bromo sedang membangun istana dan sekarang sudah selesai. Habis ini wong Tengger pasti akan mendapatkan hasil panen yang melimpah". 

Wong (orang dan masyarakat) Tengger dalam wacana akademis diyakini sebagai masyarakat Jawa pegunungan yang berhasil mempertahankan dan menjalankan ajaran leluhur secara turun-temurun. Mereka juga diwacanakan sebagai masyarakat tradisional yang mengedepankan keharmonisan makrokosmos dan mikrokosmos, manusia-alam-Dewata, serta mengutamakan kearifan lokal yang banyak mengajarkan nilai-nilai positif.

Meskipun letusan hebat Bromo, mulai Oktober 2010 hingga Juli 2011, tidak sampai menghancurkan tatanan keyakinan religi mereka terhadap kesakralan dan keluhuran Gunung Bromo sebagai gunung suci, masyarakat Tengger, pada dasarnya, merasa terganggu secara ekonomi. Mengapa? 

Karena mereka harus menanggung kerugian material karena tidak bisa menanam kentang, kubis, ataupun wortel. Mereka yang biasa menikmati berkah melimpah berupa hasil panen, selama sembilan bulan harus "hidup dalam keprihatinan" dan menggunakan tabungan yang semestinya digunakan untuk belanja ke kota atau untuk persiapan slametan. 

Di Desa Ngadas, menurut keterangan perangkat desa dan warga, banyak keluarga yang harus mengalami kerugian. Kentang yang sudah ditanam dan tumbuh dengan baik tertimbun abu dan pasir vulkanik. 

Kemudian mereka berusaha menanam kembali, ternyata terdampak letusan lagi. Akibat kerugian tersebut banyak warga yang sambat (berkeluh kesah). Untungnya, para kerabat dan tetangga masih yang memiliki tabungan masih bersolidaritas dengan cara meminjami uang. 

Warga desa lain yang tidak tahan dengan kondisi tersebut memutuskan untuk menyewa lahan di luar Probolinggo. Warga Ngadirejo, misalnya, menanam sayur-mayur di Jurang Juwali Malang dan Sempol (kini Kecamatan Ijen) Bondowoso. Meskipun bukan tradisi wong Tengger, dhukun pandita dan perangkat desa tidak bisa berbuat banyak karena kawasan Ngadirejo terdampak paling parah akibat letusan Bromo. 

Informasi terkait kerugian dan "banyak warga sambat" merupakan penegasan akan dampak negatif letusan Bromo yang dilandasi oleh pikiran dan pertimbangan ekonomis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline