Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Silo Joyo, Mengembangkan Kesenian Jaranan di Kawasan Timur Jember

Diperbarui: 30 Oktober 2021   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jaranan bisa dikatakan sebagai kesenian kaum muda di kawasan Jember. Memang mayoritas kaum muda lebih memilih musik pop, rock, ataupun dangdut. Itu memang realitas. Namun, banyak di antara mereka yang menyukai kesenian tersebut juga menggemari jaranan. Mayoritas pelaku jaranan di puluhan paguyuban di Jember adalah kaum muda. Ini tentu perkembangan yang cukup membahagiakan. Karena di pundak merekalah budaya lokal bisa atau tidak melanjutkan eksistensinya. Kaum muda yang dalam banyak wacana akademis seringkali dianggap sebagai kelompok yang rentan dalam hal pengaruh budaya global, nyatanya masih memiliki perhatian terhadap kesenian rakyat.

Keinginan untuk melanjutkan dan mengembangkan eksistensi kesenian jaranan di Kecamatan Silo dan kecamatan lain di wilayah timur Jember, mendorong Cak Ifan untuk mendirikan Paguyuban Jaranan Silo Joyo pada tahun 2005. Bersama istrinya, ia merangkul beberapa seniman senior dan mengajak bergabung kaum muda, baik sebagai penabuh alat musik, penari jathil, pembarong dan yang lain. Strategi ini menjadi pilihan karena kaum muda menjadi penonton setia pertunjukan jaranan. Artinya, kalau mereka diajak bergabung untuk berlatih, kemungkinan pasti berkenan. Dan, terbukti, kaum muda pun dengan senang hati bergabung ke dalam Silo Joyo.

Dalam komposisi estetiknya, paguyuban yang bermarkas di Desa Silo ini mengkolaborasikan beberapa gaya jaranan, yakni jaranan buto Banyuwangi dan jaranan gaya kulonan., dari kawasan Mataraman Jawa Timur, seperti Trenggalek dan Tulungagung. Tentu itu adalah pilihan yang wajar karena mereka memang sudah terbiasa menonton jaranan buto Banyuwangi yang cukup populer di kawasan Jember. Mereka juga biasa menikmati gaya pertunjukan jaranan dari kawasan Trenggalek dan Tulungagung. Maka, menghadirkan kedua gaya tersebut dalam pertunjukan menghasilkan gaya hibrid sebagai strategi untuk menarik ketertarikan publik. Selain itu juga menjadi karakteristik seni rakyat Jemberan yang terbuka dan lentur terhadap pengaruh bermacam prakrik dan nilai budaya, tanpa harus bingung dengan identitas yang kaku. Secara historis, pertemuan bermacam etnis di era kolonial ikut mendinamisasi cara berpikir dan ragam budaya yang berkembang di Jember.

Tari gandrung dalam pertunjukan Silo Joyo

Tidak lupa dalam pertunjukannya, sebagaimana paguyuban jaranan lainnya, Silo Joyo juga menghadirkan gelaran tembang Banyuwangian, campursari/Jawa, dan Madura, selain gelaran jathil, jaranan buto, barongan-caplokan, dan tari gandrung. Di era sebelum pandemi, pertunjukan jaranan di kawasan timur Jember cukup dipadati penonton. Masyarakat Madura di kawasan timur memang menjadi penikmat bermacam pertunjukan seni. Tidak heran kalau di kawasan ini berkembang juga ludruk, janger, hadrah, musik patrol, glundengan (alat musik semacam gamelan yang terbuat dari kayu), selain jaranan.

Realitas kuatnya tradisi masyarakat penonton menjadi peluang bagi para seniman jaranan untuk menciptakan kreasi-kreasi pertunjukan yang sesuai dengan jiwa zaman. Di sinilah para pengurus Dewan Kebudayaan Jember (DeKaJe) Kecamatan Silo seperti Mahmud Alif dan Hasanah Riadi bisa mengambil beran untuk mendampingi kreativitas Silo Joyo agar bisa lebih berkembang. Latihan dan diskusi rutin bisa menjadi sarana untuk memunculkan dan memgembangkan gagasan kreatif. Tidak masalah pertunjukan jaranan menyerap dari unsur-unsur kesenian lain asalkan warna jaranannya tetap ada dan menjadi struktur utama pertunjukan. Yang kurang menarik adalah ketika jaranan hanya menjadi tempelan. Tentu saja, para pelaku  tetap ingin warna jaranannya dominan.

Selain itu, pengurus DeKaJe Kecamatan Silo, Paguyuban Silo Joyo, dan paguyuban kesenian lainnya sudah saatnya berdiskusi serius dengan pihak kecamatan dan desa untuk menggelar event rutin tahunan di tempat-tempat yang indah. Even tersebut bisa mempertemukan para seniman dalam gelaran kolaboratif. Menarik sekali kalau bisa melihat jaranan bisa bermain di sela-sela pohon karet, pinus, kopi, atau di kawasan kali dan sumber mata air. Artinya, para seniman bisa juga mengkampanyekan kesadaran ekologis. Itu hanya salah satu alternatif, tentu para seniman memiliki kebebasan kreatif untuk mewujudkan ide pemajuan budaya lokal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline