Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Memulai Poskolonialisme dari Kritik

Pendekatan poskolonial….menarik karena menutupi relasi kuasa yang membentuk jagat yang tampak tak berbentuk dan berkontribusi bagi konseptualisasi jagat tersebut yang mengkonsolidasikan maupun mensubversi kemungkinan resistensi. Kritikus poskolonial banyak terlibat dalam kritik nyata terhadap bentuk-bentuk lampau hegemoni ideologis tetapi kurang menyuarakan figurasi kontemporernya. Memang, di dalam penolakan simultan mereka terhadap struktur dan afirmasi terhadap masyarakat lokal dalam masalah penindasan dan pembebasan, mereka memistifikasikan cara-cara di mana struktur menyeluruh berubah menjadi masalah subjektivitas dan epistemologi konkrit serta masalah material dari kehidupan sehari-hari. Sementara, kekuatan modal dalam pergerakannya terus menstrukturkan jagat, menolak status dasarnya, mengubah menjadi tidak mungkin pemetaan kognitif yang menjadi titik keberangkatan bagi setiap praktik resistensi. (Dirlik, 1994: 355)

Saya sengaja memulai tulisan ini dengan kutipan panjang dari Dirlik untuk mengungkapkan betapa poskolonialisme bukanlah final project, sebuah produk jadi yang sudah mapan dalam ranah akademis. Alih-alih, ia merupakan konfigurasi teoritis dan metodologis yang masih berproses secara dinamis sehingga memungkinkan terjadinya kritik terus-menerus guna memperkuat fondasinya. Seperti yang disampaikan Dirlik, poskolonialisme memang memiliki piranti teoretis dan mekanisme metodologis untuk membuka dan ‘menelanjangi’ (dismantling) kompleksitas permasalahan kultural beraroma dualitas, ambivalensi, keberantaraan, liminalitas, dan hibriditas. 

Namun, penekanan kepada permasalahan kultural sehari-hari telah menjadikan kajian ini kurang serius memperhatikan beroperasinya kapitalisme global mampu memformulasi-ulang masyarakat bumi dalam struktur kekuasaan baru beraroma neokolonial tanpa harus mengusung panji-panji kolonilaisme. Kekuatan kapitalis global ini mengatur-ulang sendi-sendi kehidupan manusia melalui prinsip fleksibilitas. Akibatnya, mayoritas subjek pascakolonial pun tidak merasakannya sebagai kekuasaan yang menguasai kehidupan mereka. Inilah mengapa Dirlik mengatakan bahwa resistensi, baik dalam bentuk narasi dan praksis, menjadi ideal yang susah diwujudkan atau tidak menjadi moda dominan dalam kehidupan nasional dan internasional. 

Kritik tersebut tidak terlepas dari paradgima “melampaui” yang menjadi warna dominan dalam poskolonialisme ‘mazhab’ Bhabha. Bagi Bhabha (1994a: 1-2), “melampaui”  merupakan konsep penting untuk membaca kompleksitas kultural yang berlangsung dalam masyarakat pascakolonial. “Melampaui” tidak bisa dipahami meninggalkan masa lalu, tetapi sebuah momen transisi di mana ruang dan waktu saling melintasi untuk menghasilkan subjek-subjek kompleks dari perbedaan dan identitas. Bhabha memosisikan “budaya” sebagai proses di ruang-antara di mana ia berada dalam kolaborasi sekaligus kontestasi antara masa kini dan masa lampau; antara apa yang berlangsung di dalam dan di luar masyarakat; antara yang bisa di-inklusi dan yang di-ekslusi; antara yang tradisional dan yang modern; ataupun antara yang lokal/nasional dan yang metropolitan/global. 

Artinya, budaya bukan sekedar nilai, ide, dan tindakan dari masa lampau yang bersifat utuh dan murni, bukan pula sekedar apa-apa yang didapatkan dari masa kini. Dari proses saling melintasi garis-batas perbedaan yang bukan berarti melebur sepenuhnya, budaya menjadi proses yang melampaui subjektivitas asli yang dengannya masyarakat sebagai subjek bisa mengkonstruksi strategi kedirian di tengah-tengah perbedaan dan kekuasaan yang menjadikan mereka subordinat. Poskolonialisme bisa menjadi kerangka teoretis yang bersifat inovatif sekaligus politis karena memungkinkan kita keluar dari narasi subjektivitas asli dan awal sehingga bisa fokus kepada momen atau proses yang diproduksi di tengah-tengah perbedaan kultural. Ruang antara menghadirkan tempat untuk mengelaborasi strategi kedirian, baik tunggal maupun komunal, yang menghasilkan tanda baru identitas kultural serta situs inovatif kolaborasi dan kontestasi dalam mendefinisikan ide tentang masyarakat. Posisi in-between inilah yang menjadikan poskolonialisme menolak adanya identitas asli yang dimiliki oleh masyarakat pascakolonial maupun masyarakat metropole karena perbedaan kultural telah menghasilkan pertemuan demi pertemuan yang dianggap produktif sekaligus bisa menggangu kemapanan budaya dominan.

Banyak kritik yang dilontarkan terhadap poskolonialisme sebagai sebuah perspektif teoretis untuk membuka pengaruh atau warisan kolonial di dalam kehidupan pascakolonial yang diarahkan kepada ketidakberanian atau kekurangtegasannya dalam merespons, mengkritisi, dan meresistensi bentuk neokolonialisme karena terlalu asyik dengan ranah tekstual dan praksis kultural sehari-hari berkarakteristik hibrid dan ambivalen. Neokolonialisme tidak lagi menghadirkan tatanan kolonial yang melahirkan banyak gerakan perlawanan. Sebaliknya, neokolonialisme mereformulasi bentuk baru kolonialisme yang disesuaikan dengan perkembangan global yang menuntut kelenturan kuasa, sehingga bisa menyebar dan melampaui batas-batas negara. Produksi terus-menerus pengetahuan tentang pasar dalam narasi dan praktik kultural menunjukkan bahwa banyak bangsa dan negara berada dalam kendali diskursif negara-negara maju.

Dalam kondisi demikian, istilah pascakolonial bukanlah berarti kemerdekaan sepenuhnya masyarakat dan negara pascakolonial dari transformasi kuasa kolonial yang dioperasikan oleh negara-negara maju/negara-negara Dunia Pertama. Shohat (2000: 131-133) secara kritis mengingatkan:

Karena ... istilah “pos” menandakan “setelah”, ia memang berpotensi menghalangi artikulasi penuh kekuatan dari apa yang bisa disebut neokolonialitas....Istilah poskolonial membawa dalam dirinya implikasi bahwa kolonialisme saat ini merupakan masalah di masa lampau, meruntuhkan jejak-jejak deformatif kolonialisme ekonomi, politik, dan kultural di masa kini. Konsep poskolonial kurang hati-hati dalam menjelaskan fakta, bahwa bahkan di era pasca perang dingin, hegeomoni global berlangsung dalam bentuk-bentuk lain yang berbeda dari hukum kolonial....Stuktur-struktur hegemonik dan kerangka konseptual yang berasal dari masa lima ratus tahun lebih tidak bisa ditundukkan dengan menggerakkan tongkat sihir kajian poskolonial....Budaya kontemporer ditandai oleh tegangan antara tujuan resmi aturan kolonial secara langsung serta kehadiran dan regenerasinya melalui hegemoni neokolonialisme .... terhadap negara-negara Dunia Ketiga .... Konsep poskolonial mengimplikasikan narasi kemajuan yang di dalamnya kolonialisme tampak masih menjadi pusat rujukan, dalam sebuah perjalanan panjang yang secara rapi diatur dari sebelum hingga sesudah, tetapi meninggalkan kekaburan dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk baru kolonialisme, yakni neokolonialisme. 

Poskolonialitas sebagai lokus utama kajian poskolonial, baik dalam hal representasi, praktik diskursif, dan kehidupan sehari-hari, tidak bisa dikatakan menyuarakan kemerdekaan secara ekonomi, diskursif, dan ideologis dari masyarakat dan negara pascakolonial, karena endapan-endapan ideologis terkait kemajuan dan kemakmuran yang merupakan tujuan setiap individu di era pasar bebas diinkorporasi dan diartikulasikan secara luas dalam narasi industri budaya yang merupakan bentuk baru dari regenerasi hegemoni negara-negara maju terhadap negara-negara pascakolonial. Sepertihalnya yang berlangsung dalam ranah praksis di mana kepentingan politiko-ideologis-ekonomis lembaga-lembaga keuangan internasional maupun investor-investor transnasional terus bergerak melampaui batas-batas geo-kultural dan geo-politik Indonesia demi memapankan relasi kuasa-hegemonik mereka dengan dalih perbaikan dan pertumbuhan ekonomi, kekompetitifan nasional di ranah global, dan hancurnya batas pusat-peripheral.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline