Sebuah pagi yang beranjak terang. Sebuah kampung yang tidak jauh dari kampus Universitas Gadjah Mada yang terkenal seantero Indonesia dan, juga, dunia. Tepatnya di utara selokan Mataram. Sebuah lanskap pagi nan senyap ketika orang-orang masih belum juga membuka pintu rumah mereka. Semerbak harum bunga kanthil mengiringi kegiatan rutin seorang nenak yang berjalannya tidak tegak lagi.
Nenek itu perlahan-lahan---dengan sisa-sisa energi kehidupannya---membuka pintu rumah. Rumah yang sangat sederhana itu seperti mencatat semua cerita yang pernah ia alami. Perlahan sekali ia melangkahkan kaki, menuju sebuah pohon kanthil, mengisi pagi yang masih sunyi. Berbalut kebaya, keriput kulit wajahnya tidak pernah menyurutkan keinginannya untuk membawa sapu, membersihkan daun-daun pohon kanthil yang jatuh dimakan usia, mengikuti aturan semesta. Daun-daun yang terkumpul ia masukkan ke dalam keranjang sampah yang terbuat dari bambu. Setelah selesai menyapu, perlahan-lahan ia memetik bunga kanthil yang baru saja mekar.
"Kang...aku bersihkan lagi daun-daun kanthil yang jatuh pagi ini. Semoga, kau mau tersenyum sekali lagi, menerima pengabdianku ini. Ya, mungkin hanya pengabdian ini yang bisa aku berikan, karena aku sudah berjanji untuk selalu mengabdi kepadamu. Karena hanya pohon ini yang membuatku bertahan, mengingat semua apa yang telah terjadi. Karena hanya pohon ini yang membuatku selalu menjalankan cinta. Karena hanya pohon ini yang masih tersisa. Semua telah habis, Kang. Semua yang kau berikan dulu, telah habis. Satu demi satu aku jual. Lemari kayu telah aku jual untuk membeli beras kemarin. Dipan mungil tempat kita mengikat jiwa, telah aku jual pula satu minggu yang lalu, karena cucumu minta mobil-mobilan, sedang anak perempuanmu satu-satunya tidak punya uang untuk membelinya. Maklum, Kang, suami anakmu hanya tukang becak. Jadi, aku sekarang tidur di lantai, beralas tikar yang juga sudah sangat lusuh. Paling tidak, pohon yang kamu tanam ketika kita baru menikah dulu, masih aku pertahankan."
Begitulah gumamnya sembari memandang pohon kanthil ketika ia beristirahat. Wajah keriputnya tampak masih menyimpan kidung harapan dan kesetiaan terhadap ruh cinta yang mengalir dalam semerbak harum bunganya. Kidung itulah yang selalu ia senandungkan dalam batin dan ia kirimkan kepada arwah suaminya, suami yang telah menanam kanthil untuk ia rawat dan jaga.
Pagi berikutnya, ia masih melakukan kegiatan yang sama. Membersihkan daun-daun pohon kanthil yang jatuh. Tak ada rasa lelah yang terpanjar dari wajah dan tubuhnya. Lagi-lagi, sambil berdiri, ia menatap dan memegang batang kanthil sembari bergumam dalam batin.
"Kang, semalam anak kesayanganmu berkeluh-kesah, katanya sudah beberapa hari ini penghasilan suaminya menurun. Orang-orang semakin jarang naik becak. Apalagi para mahasiswa yang pinter-pinter itu, mereka lebih memilih naik sepeda motor atau mobil pembelian orang tua. Yang tidak kuat membeli keduanya biasanya naik bis kota. Mungkin, naik becak lebih mahal, ya, Kang. Padahal, membeli udug kan juga mahal. Katanya, sih, orang-orang sekarang lebih suka kredit. Tidak kayak kita dulu, ya, Kang. Kemana-mana naik becak kepunyaan Juragan Karto. Habis, mau naik sepeda onthel ndak cukup uang kita. Apalagi udug, wah, ndak mungkin itu. Zaman kita memang zaman susah. Semua orang berusaha bertahan hidup. Semua orang berjuang supaya tidak kelaparan. Untung Bung Karno selalu saja membesarkan hati kita, untung Bung Hatta selalu tersenyum setiap kali bertemu dengan wong cilik. Meskipun hidup kita berat, kita cukup tenang, karena revolusi memang belum selesai. Begitu pekik Bung Karno melalui radio yang kita dengarkan berama-ramai dengan para tetangga di rumah Pak Carik. O, iya...tentang anakmu, semalam dia juga merayuku agar menyewakan rumah dan pekarangan, buat usaha rumah makan kecil-kecilan. Tentu aku tolak keinginannya, bukankah pekarangan ini dulu kau beli dengan keringatmu yang hampir kering. Keringat yang tidak pernah kenal musim, Kang; keringat yang selalu membuatku kangen akan baunya; keringat yang semakin menjadikan aku kasmaran; keringat yang harus engkau buang, karena engkau ingin melihatku tersenyum. Indah sekali masa-masa itu, Kang. Percayalah, keringatmu akan selalu menjadi prasasti dalam batinku. Kalau sampai aku menjual atau menyewakan pekarangan ini, berarti aku mengkhianati prasasti itu, Kang. Aku benar-benar ndak mau melakukannya, Kang. Lalu, anakmu ngamuk-ngamuk, Kang. Dia bilang aku ndak kasihan sama anak sendiri. Aku ndak kasihan sama cucu. Aku mementingkan diriku sendiri. Aku diam saja, Kang. Aku ndak mau ribut sama anak sendiri; anak yang terlahir dari laku perjuangan kita; anak yang selalu kita harapkan menjadi orang besar. Meskipun, tidak pernah terwujud, karena kita tidak punya cukup biaya untuk sekedar menyekolahkannya."
Perempuan tua itu lalu duduk di bangku kayu, menyandarkan tubuhnya pada pohon kanthil.
"Aku jadi ingat, saking pinginnya menyekolahkan anak kita, kau sampai ikut serikat...serikat...serikat tukang becak,...atau serikat...apa...ahh..aku lupa namanya. Serikat itu menjanjikan perbaikan nasib kita, termasuk kesempatan menyekolahkan anak kita. Kamu begitu menggebu-nggebu kalau sudah membicarakannya. Kamu bilang sebentar lagi nasib kita akan enak. Kata pimpinan serikat, semua anggota akan diberikan pinjaman modal, untuk berusaha, selain jadi tukang becak. Anak kita juga akan disekolahkan. Pokoknya enak banget. Kamu juga bilang aku akan mendapat pinjaman uang untuk mlijo, kayak Mbakyu Kirah, biar dapat tambahan penghasilan. Sebagian ditabung, sebagian untuk membayar kredit dari serikat. Wah, aku sudah membayangkan nasib kita benar-benar akan berubah. Anak kita akan jadi orang."
Sejenak ia menghela nafas. Lalu, melanjutkan lagi gumamannya.
"Setengah percaya dan tidak, aku ikut senang mendengar semua omonganmu, Kang. Bagaimana tidak, akhirnya aku punya kesempatan untuk membuktikan kepada orang tuaku, kalau menikah denganmu akan membawa kesejahteraan. Aku masih ingat bagaimana orang tuaku tidak merestui pernikahan kita karena kau dari keluarga miskin. Kita sampai harus menikah di catatan sipil. Hari-hari berat di awal pernikahan kita memang begitu menyiksa, karena kau harus pulang larut malam. Beras untuk makan sangat tergantung dari penghasilanmu. Sering kita harus hutang ke toko sebelah. Saat itu begitu menyiksa. Kalau jadi bisa mlijo dan menyekolahkan anak kita, aku ingin bertandang ke orang tuaku, aku ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa kita bisa sejahtera, meski engkau hanya tukang becak. Tapi....semua impian kita harus buyar, Kang. Impian kita kandas."
Wajah nenek itu seperti tengah membayangkan kengerian bercampur ketakutan. Suara kenthongan memenuhi telinganya. Ditimpali teriakan-teriakan orang yang hendak membunuh orang. Perempuan itu berdiri, mondar-mandir bingung di bawah pohon kanthil. Bayangan puluhan orang yang membawa pedang, arit, tongkat, dan senjata lainnya menyeret suaminya, kembali hadir di benaknya.