Setelah mengucapkan di depan umum bahwa dia "setuju" dengan pembebasan ustad ABB , akhirnya Jokowi "meralat" ucapannya sendiri. Bahwa pembebasan itu tetap pembebasan bersyarat bukan pembebasan tanpa syarat seperti yang "diumumkan" oleh seorang pengacara dan politikus terkenal sekaligus kawakan Prof. YIM.
Jika Jokowi memang hampir melakukan satu tindakan "keliru" (baca : blunder), maka dia sungguh beruntung mempunyai seorang pembantu dan pendukung, jendral purn, Wiranto yang saat ini menjabat menkopolhukan. Jokowi juga menggunakan si penawar racun, AMN.
Jika tindakan dan ucapan Jokowi memang sudah dirancang, artinya dia mengalahkan seorang profesor ulung, pengacara handal dan juga seorang politikus kawakan. Bayangkan saja ketika profesor YIM sudah keluar masuk istana, si Jokowi sedang sibuk mengukur kayu untuk membuat kursi dan meja.
Jokowi sangat paham bahwa selama ini dia adalah presiden yang diremehkan, presiden plonga plongo dan seterusnya. Ya, wajarlah. Dia memang cuma seorang tukang mebel, wali kota sebuah kota kecil, wong ndeso, gubernur DKI Jakarta tidak selesai dan mendadak presiden.
Tindakan dan keputusan terhadap kasus ustad ABB masih akan terus diprotes tetapi keputusan sudah tetap dan pasti bahwa sang ustad harus memenuhi pembebasan bersyara, setia kepada NKRI dan mengakui Pancasila sebagai dasar NKRI.
Lawan lawan Jokowi terlena dan terlengah. Mereka tetap meremehkan Jokowi. Mereka sama sekali tidak belajar dari kasus SN yang meremehkan dia bahkan menyatut namanya dalam kasus papa minta saham. Walaupun sudah menyatakan kekesalannya, Jokowi tetap sabar dan tetap "berteman" dengan SN hingga SN ditangkap KPK dan harus menjadi narapidana.
Indonesia butuh Jokowi 2 periode, bahkan Indonesia butuh seorang presiden untuk meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis dan dikerjakan oleh Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H