Lihat ke Halaman Asli

Karena Cara Ayah Berbeda

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pesek, kapan pulang?” sejenak saya terdiam mendengar kalimat yang lama baru terdengar dari ayah saya.

Ayah orang yang tegas, yang jarang menampakkan rasa sayang berlebih kepada anaknya. Hal yang membuat saya marah dan selalu merasa kecewa. Sampai akhirnya saya sadar pada saat saya masuk Universitas, dimana yang ternyata anggapan saya bahwa ayah memang tidak peduli salah besar, kepedulian ayah di berikan lewat tangan halus ibu. Walau terkadang ayah hanya berbicara sepatah dua kata, ternyata banyak kata yang tak tersampaikan secara lisan yang saya tak dapat menangkapnya.

Telepon yang berdering tiga kali sehari, dengan nomer handphone ayah, diawali dengan suara halus ibu, yang diakhiri dengan suara berat ayah. Ayah berkata ibu yang mau berbicara. Walau dengan ragu-ragu bertanya kabar. Tapi kebenaranpun akhirnya terungkap, lewat ibu akhirnya terungkap bahwa yang selama ini cemas walau seharipun tak ada kabar yaitu beliau.

Pernah saya jengkel karena ayah yang tidak mau melepaskan saya melanjutkan pendidikan di kota orang, dengan alasan yang tidak masuk akal. Tapi, akhirnya saya mengerti ketakutan jauh dari anaknya yang beliau pikirkan bukan segala hal yang tidak masuk akal yang saya pikirkan. Tapi tenang ayah.. saya baik-baik saja.. saya akan menjaga kepercayaan ayah.

Ayah yang selalu berusaha memenuhi keinginan anaknya karena ingin membahagiakan anaknya seperti cara kakek dan nenek membahgiakannya dulu. Permintaan anaknya menjadi pikiran di hari-harinya. Uang pas-pasan disisihkan untuk keperluan tidak mendesak anaknya.

Ayah yang pergi pagi pulang malam mencari nafkah buat keluarganya. Kadang tak sanggup rasanya disaat hujan, ayah belum pulang.

Saat beliau sakit, beliau masih berpikir kebahagian anaknya.

Saat ayah mengantar kita ke halte untuk kembali ke tempat menuntut ilmu, ayah berkata naiklah nak. Karena ayah tak mau melihat wajah sedih perpisahan kita.

Ayah yang marah pada saat saya terlambat makan, ayah yang marah pada saat tidur terlalu larut.

Walaupun kadang ayah marah besar, tapi itu semua untuk kebaikan anaknya.

Ayah.. yang jarang menampakkan kebanggaan terhadap anaknya. Tapi di belakang, hanya nama anaknya yang disebut-sebut.

Ayah.. maafkan anakmu yang telah berprasangka buruk padamu..

Mungkin terlalu sulit diungkapkan, BUT I LOVE U DAD more than word..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline