Lihat ke Halaman Asli

Menghapus Memori

Diperbarui: 14 Desember 2024   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tempat ini...

Sudah hampir 10 tahun tepatnya, sudah banyak yang berubah, bahkan ada beberapa part yang harus ku coba abaikan, bukan tidak ingin menyimpan nya di dalam memori namun terkadang merelakan sesuatu yang begitu besar pengaruhnya di dalam kehidupan kita adalah salah satu cara untuk menikmati takdir yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Jiwa dengan hati yang lapang.

 Tidak ada yang begitu saja merelakan, tetap membutuhkan proses yang cukup lama untuk bisa di pahami dengan nalar dan naluri yang terkadang kerapkali saling bertolak belakang. Bukankah melepaskan sebuah kemelekatan terkadang sebuah kemustahilan jika jiwa ini terlalu mendekapnya, dan banyak diantara kita yang masih saja merasa apa yang dimiliki sekarang adalah mutlak miliknya, hingga melupakan kenyataan bahwa semua ini hanyalah 'pinjaman' yang setiap saat akan diminta kembali suka tidak suka, bahkan hari ini masih diberikan 'pinjaman' ajal pun adalah sebuah kenikmatan yang kerapkali kita lupakan. 

Lantas mengapa masih saja menganggap bahwa apa yang melekat pada diri adalah milik yang tidak bisa diminta dan direbut oleh siapapun. Mengapa ego sabagai 'manusia angkuh' masih saja menjadi kebanggan tersendiri. Perenungan yang terkadang membuatku menjadi manusia 'tolol' yang terjebak diantara logika dan rasa. Perang yang benar-benar belum mampu ku menangkan sekali pun ku merasa sudah memiliki pengalaman 'hancur' oleh ego ku sendiri, bukankah seharusnya perjalanan yang tidak mudah membuatku menjadi pribadi yang mudah melepaskan 'kemelekatan' tentang apapun, nyatanya terkadang ku masih menyelipkan validasi yang ku bungkus dengan kalimat samar yang sukar ditelaah beberapa orang. Betapa ku merasa sebagai pendosa yang menikmati 'keuntungan' dari kelemahanku sebagai makhluk yang dinamakan Manusia.

"Aku kalah, karena ku memilih menikmati hiruk pikuk rasa yang sejatinya selalu dibolak-balik kan oleh Sang Pencipta, aku selalu terlambat menyadari ketika semua telah berbondong bondong menjauh  duniaku, entah ini sebuah pertunjukan yang harus aku rayakan, ataukah sebaliknya." Bisik lirih jiwaku yang mulai kelelahan karena ego.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline