Lihat ke Halaman Asli

Reuni

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hampir jam dua pagi. Laptop baru saja aku matikan. Mataku terasa pegal dan berair. Kenapa baru sekarang terasa. Tadi saat aku berlama-lama didepan laptop semua tak ada masalah. Mata ini begitu segarnya. Mungkin karena ada dia disana lengkap dengan senyum dan sapaan mesra nya.

Aku menuju tempat tidur. Kurebahkan tubuhku disebelah isteriku yang tertidur pulas. Ku pandangi wajahnya. Mataku tertuju pada pipinya yang tembam. Aku tersenyum sendiri. Pipi itu mengingatkanku pada kue bakpau Ci Mimi, putih dan montok. Kemudian pandanganku beralih ke perutnya yang buncit. Dadanya naik turun seirama dengan tarikan nafasnya. Lengannya besar berisi lemak yang tiga kali lebih besar dari lenganku.  Terlalu cepat tubuh ini berubah. Tubuh yang seketika membesar dan melebar setelah kelahiran anak pertama kami, dan semakin membesar setelah kelahiran anak kedua dan ketiga. Untung saja aku bukan type lelaki yang terlalu mempermasalahkan penampilan. Bagiku isteriku tetap cantik dengan ukuran tubuh seberapa pun besarnya.

Isteriku memang cantik dengan kulit putih dan bersih. Dulu  beratnya tak lebih dari empat puluh lima kilogram. Tapi bukan cuma itu alasanku mengawininya. Alasan pertamaku adalah memang isteriku cantik. Kedua, kami sudah berteman sejak kecil jadi aku sudah kenal baik dengan keluarganya. Ketiga, Lusi perempuan yang aku pacari tiba-tiba saja meninggalkanku dan menikah dengan orang lain. Dalan keputusasaan setelah ditinggal Lusi, aku bertemu Anna, perempuan yang akhirnya menjadi isteriku.  Tak perlu susah payah untuk mendapatkannya. Semua mengalir begitu saja. Seperti mimpi tiba-tiba aku sudah mengawininya,  tinggal serumah dengannya dan menjalani rutinitas sebagai kepala keluarga dengan tiga orang anak, memikirkan biaya sekolah, rekening listrik, rekening air, cicilan mobil, belanja bulanan dan anggaran-anggaran lain yang membuat kepalaku pening.

Rutinitas hidup yang  kadang  membosankan dan untuk membuang kebosanan itu,  kadang aku duduk sendiri di teras depan sampai tengah malam dengan ditemani sebungkus rokok, atau membuka laptop dan berbincang dengan teman yang entah berada dimana. Dari kemajuan teknologi ini akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan teman-teman lama termasuk Lusi. Perempuan yang pernah membuat hidupku tak karu-karuan. Perempuan yang mestinya aku hindari tapi kenapa sekarang malah kucari.

Setelah berpisah hampir tigabelas tahun, tak banyak yang berubah pada Lusi. Ia tetap cantik dan langsing seperti dulu saat kami masih pacaran.

"Anakmu sudah berapa Lus?" tanyaku saat pertama kali aku menemukannya di dunia maya.

"Satu,  kamu Pras"

"Aku tiga, laki-laki semua."

"Iya-iya, aku sudah lihat di album foto kamu. Anak kamu lucu-lucu ya"

Tiba-tiba saja dadaku berdegup kencang. Berarti Lusi sudah lihat foto-fotoku. Tentu dia akan tertawa dalam hati melihat foto  isteriku yang sangat gemuk. Makanya ia  hanya mengomentari foto anak-anak ku saja. Detik itu juga langsung kusembunyikan foto keluargaku dengan mengatur privasinya, jadi Lusi hanya bisa melihat fotoku saja.

Hari-hari selanjutnya aku mulai meng upload foto-foto lama.  Foto-foto yang akhirnya menjembatani apa yang dulu pernah ada diantara kami. Dan kurasa Lusi pun nenyukai itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline