Lihat ke Halaman Asli

Hukum di Indonesia perlu rekonstruksi ulang?

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13041622951324983532

Mengamati dan merenungkan proses-proses hukum yang terjadi di tengah bangsa kita di tahun-tahun yang lalu, seperti kasus kaburnya tommy soeharto menghindari eksekusi, kasus-kasus korupsi besar yang berakhir dengan putusan bebas, memberi alasan kuat untuk mempertanyakan apakah yang salah dengan hukum kita? Perjuangan untuk menjaga kemerdekaan dan kebebasan manusia telah menimbulkan problem baru yang sama sekali tak dapat dianggap kecil, yaitu dunia “prosedur hukum”. Hukum modern menampilkan wacana baru dengan menempatkan “prosedur” pada titik terdepan dari pada “substansi” hukum itu sendiri. Tommy lolos di sela-sela debat para advokat dan jaksa tentang keabsahan suatu dokumen yang difotocopi. Di Amerika dikenal exclusionary rules yang tidak lain adalah memenangkan prosedur di atas substansi. Keadilan dan kebenaran harus mengalah demi untuk menegakkan prosedur yang membentengi kebebasan. Hukum liberal ini telah menyebar ke seluruh dunia. Atas dasar hak asasi dan berdasarkan “konsensus”, bangsa-bangsa yang sebenarnya memiliki kultur dan perkembangan berbeda, seperti Cina, Korea, Jepang termasuk Indonesia “terpaksa” memakai hukum ini. Hukum liberal ini sejak lama telah dimasukkan dan dikembangkan secara sistematis pada pendidikan untuk para hakim, advokat, dan jaksa. Akhirnya sebagai pelindung keadilan di Indonesia, mereka menganggap sistem tersebut menjadi absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Secara pribadi mereka sangat diuntungkan dengan keberadaan hukum ini karena dapat melindungi klien mereka dengan lebih mudah. Lihatlah, betapa para advokat berapi-rapi bicara mengenai hak asasi sang klien, mengenai supremasi hukum dan lain-lain. Dalam menyelesaikan persoalan, suatu institusi hukum, khususnya hukum modern, sangat bertumpu pada prosedur. Dengan kata lain ciri hukum yang berkembang sekarang ini adalah bekerja secara prosedural. Kalau hukum itu adalah ditugasi untuk menegakkan keadilan, maka caranya harus dilakukan secara prosedural. Bagaimanapun adilnya suatu keputusan hukum, namun jika tidak dilengkapi dengan prosedur yang lengkap, hukum itu akan dengan mudah digugat. Orang bilang keputusan hakim ”cacat hukum”. Sebaliknya bagaimanapun tidak adilnya suatu keputusan hukum, namun jika prosedurnya lengkap, maka keputusan itu akan lebih aman. Hukum tanpa prosedur mereka sebut sebagai ”hukum radikal”. Padahal, substansi hukum yang nyata adalah ”keadilan” bukan bekerja dengan prosedur. Walaupun prosedur merupakan sesuatu yang juga penting dalam hukum, namun tidak seharusnya kita melebih-lebihkan pengertiannya. Kelemahan ini tidak hanya terjadi pada pelaksanaan hukum yang dibebankan kepada legislatif. Lebih parah lagi, legislatif dalam hal ini DPR yang membuat hukum dan keputusan ikut terjun membangun supremasi hukum yang keliru. Proses pembuatan undang-undang di Indonesia dilaksanakan DPR. Pada proses ini, pertukaran antara DPR dan masyarakat berlangsung dalam intensitas sangat tinggi. Dalam arti ”perjuangan kepentingan” sangat jelas tampak dalam tahap ini. Sejak penyusunan undang-undang menyangkut pengakuan dan perlindungan kepentingan-kepentingan tertentu dan alokasi hak serta kewajiban, maka masyarakat yang tentunya berkepentingan akan berusaha masuk ke dalam pekerjaan tersebut sejauh mungkin. Hal seperti itulah yang disebut ”perjuangan kepentingan”. Sampai di sana, mungkin dapat kita lihat kompetisi tersebut sangat terbuka untuk rakyat. Namun, dalam kenyataannya kompetisi tersebut tidak begitu terbuka, melainkan penuh seleksi. Mereka harus anggota dari suatu partai politik. Partai itu harus memperoleh suara yang cukup mengantarkan calonnya ke legislasi. Proses tersebut, mulai dari pendirian partai hingga bersaingnya ia dalam Pemilu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jadi, akan ada golongan dalam masyarakat yang lebih mudah menemukan jalan masuk (acces) ke DPR dan ada yang tidak. Hal ini menyangkut faktor pendidikan, status dan kekayaan material. Bila mereka tidak juga dapat masuk, maka orang yang memiliki kekayaan material dapat melakukan penyogokan dan orang biasa dapat melakukan unjuk rasa untuk mempengaruhi keputusan DPR. Bagaimanapun menyakitkannya, tapi inilah yang terjadi. Sekarang kita tahu, bahwa yang disepakati itu adalah sistem liberal. Setelah mengetahui hakikat hukum yang kita pakai, tentu terbersit di pikiran untuk merubah sistem tersebut. Sebenarnya bibit hukum liberal ini, merupakan semaian Belanda yang ternyata dipelihara dengan baik oleh Indonesia. Sebagian isi KUHP merupakan reduplikasi dari hukum kolonial. Jadi, yang perlu kita ubah terlebih dahulu adalah dasar hukum itu sendiri. Kemudian kita harus menentukan tujuan hukum secara pasti, sehingga tidak muncul lagi dilema antara perlindungan hak asasi dan penegakan substansi, sebagaimana yang terjadi pada banyak kasus. Indonesia merupakan negara beradab dan berdaulat. Tidak ada salahnya jika ia menetapkan dasar hukum sendiri tanpa ada rasa was-was jika hukum tersebut ternyata berseberangan dengan hukum di negara lain.Ditulis tahun 2008.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline