Lihat ke Halaman Asli

Cinta yang Selalu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam belum berakhir. Malam belum selesai. Sama saja, ya!

Embun mulai turun, kesenyapan beriring dengan kelenggangan mencium malamku di hari keduapuluh tiga bulan Februari. Kutulis sebuah puisi tentang kesepian yang kian. Kesedihan yang tak juga usai. Kuseduh kopi hitam cangkir keramik yang kau belikan dulu, oleh-oleh dari Bali, katamu waktu itu.

Harum kopi membuatku terlena. Cinta pertama memang senantiasa lama tertambat. Meski perahu sudah berlabuh di berbagai pelabuhan. Tak juga surut ingatan itu. Rindu pada senyum kecilmu yang malu-malu merekah. Bagai kelopak bunga mawar yang mekar ketika senja di hari pertama bulan januari.

Pada isakmu yang tertahan ketika aku cemburu di senja yang berkabut itu. Sungguh bebal, aku tak juga merasa cintamu begitu sungguh. Mengingatnya aku senantiasa merasa kabut tak pernah pergi dariku. Mengapung. Mengawang. Tak jarang mengepung. Hingga napasku terasa sesak.

Sesal kemudain, memang tiada berguna.

Begitulah, pelabuhan demi pelabuhan, hanya perhentian sesaat. Senantiasa ingin bergegas  menjumpaimu, namun seperti senja yang kehilangan pelangi di musim kemarau ketika gerimis membasuh bumi. Kekecewaan ataupun penyesalan, memang, sepertinya tiada guna.

"Cinta bukan segalanya," katamu sedikit terisak.

Kalimat yang lalu, batinku.

Kulihat jendela sedikit berkabut, ia tak mau menatapku lama. Matanya sering menatap jendela yang berkabut, selebihnya menundukkan kepala. Apakah menahan air mata, ataukah mencoba menahan isak yang naik dari dada. Entahlah. Atau, tidak keduanya.

Bukan hal yang mudah memadamkan ingatan masa silam yang senantiasa berjaga, dari rasa sesal serta rasa rindu yang senantiasa menyungkup. Pelabuhan demi pelabuhan tak juga membuatku merasa pulang. Selalu merasa ada yang hilang. Hilang.

Kesedihan ataupun kemuraman, boleh jadi, bukan hal yang utama. Rasa sesal, atau selebihnya, pula, barangkali bukan hal yang membuat kita merasa sedih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline