Lihat ke Halaman Asli

Kenangan yang Menyusut

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah saya masih waras jika terus mengingatmu, mengenangmu? Menuliskan puisi-puisi yang murung, memandang malam-malam yang panjang serta kelelahan disergap sepi dan hampa. Betpa memilukan, begitulah ...

Aku memandang langit menuju malam, senja belum selesai seluruhnya. Secangkir kopi yang sudah dingin kupegang . Tinggal setengah.  Tak ada lagi sms, apalagi telpon darinya. Ah, sungguh menjemukan sesungguhnya.

Terlalu bebal untuk diingatkan sebenarnya. Namun, lagi-lagi cinta memang kadang bebal, cenderung dungu sesungguhnya. Tentu saja, hati bakal menampik semua ucapan itu. Bahkan cenderung meradang, dengan kata-kata yang berbisa. Kadangkala. Apaboleh buat..., cari aman. Balik kanan, mengambil langkah seribu.

Mengingatmu, cari aman. Meringkas perjumpaan dalam satu kalimat ; menyebalkan !

Boleh jadi tidak terlalu meyakinkan atau perbuatan yang sia-sia. Tapi apapun, ya , semua usaha harus dicoba. Kenangan bisa jadi ujung tombak ingatan yang cendrerung membuat kita menjadi lemah. Untuk apapun. Ya !

Senja telah menjadi gelap. Angin malam mencoba istirah dari perjalanan yang tak sudah. Lorong gang telah remang. Halaman belakang juga suram. Tak ada cahaya yang terang. Seranting  sunyi telah tumbuh dengan rindang. Menempel dengan riang.

Ada yang tak terucapkan. Ada yang tak tersampaikan. Semacam isyarat.Semoga ....

Kopi masih setengah dan dingin. Tak ada jalan pulang pada akhirnya, sebuah suara setengah berbisik. Sungguhkah? Ada pertanyaan yang mengusik. Setengah tak yakin.  Setengah bergegas, aku berkemas. Pulang, barangkali salah satu jalan untuk menata kembali yang lama hilang.

Kutatap  rumah untuk kesekian kalinya, yang remang hampir seluruhnya. Impian bukanlah satu-satunya jalan untuk mengembalikan semua ingatan. Juga kenangan yang barangkali sudah surut seiring jaman. Apa boleh buat. Tak ada isak. Hanya air mata yang jatuh karena harus berpisah. Selebihnya, barangkali hanya asumsi-asumsi yang telah apkir di tengah musim yang mulai mengering.

Di beranda rumah itu kami berpisah, ia menyerahkan kenangan . Jangan sampai layu ya..., katanya. Aku mengangguk sambil meneguk kopi yang kesekian. Malam sudah jauh. Kami berpagut untuk terakhir kali. Ia mengingatkan kenangan ketika aku mulai beranjak meninggalkan rumah.

Aku tersenyum. Melambaikan tangan. Embun sudah jatuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline