Lihat ke Halaman Asli

De Geas Official

Berbagi Ide dan Inspirasi

Makna Pernikahan dalam Perspektif Adat Nias

Diperbarui: 21 November 2021   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: https://notangkalagu.netlify)

Bagi masyarakat Nias pernikahan adalah aktivitas adat yang terpenting, selain peristiwa kematian. Pada jaman dahulu pernikahan pasangan yang akan menikah telah terlebih dahulu bertunangan. Pertunangan tersebut dilakukan oleh orang tua mereka sejak mereka kecil. Pada masa kini adat istiadat yang sama masih ada, terutama dipedesaan. 

Pada umumnya pernikahan suku Nias dilakukan dalam sistem mengambil isteri diluar marga atau klannya (System Exogam). Meskipun demikian ada kemungkinan untuk mengambil isteri dari marga yang sama, dengan syarat ikatan kekerabatan leluhur telah terpisah lebih dari 10 angkatan/generasi. Selain itu proses pernikahan dilaksanakan sesuai dengan adat di setiap wilayah hukum adat (fondak) dan negeri (banua), yang dipimpin oleh seorang Salawa atau Sanuhe.

Setidaknya ada lima makna dan tujuan pernikahan bagi masyarakat Nias, yaitu Pertama, untuk meneruskan keturunan, melalui anak laki-laki (patriakal). Kedua, untuk memperoleh tingkatan sosial yang lebih tinggi, maka berkeluarga (Fangambat) merupakan syarat untuk memperoleh bosi yang ketujuh, yaitu Balugu atau Si'ulu. Bagi perempuan yang telah menikah akan memperoleh gelar, misalnya Valen Balaki, Dina Barasi, Lehe Wir, dan lain sebagainya. 

Gelar tersebut akan dipakai sebagai pengganti nama. Ketiga, ada suatu kebiasaan bahwa nama kecil tidak pantas digunakan sebagai nama panggil, melainkan nama anak pertama, misalnya Ama Munas/Ina Munas. Keempat, untuk mewariskan kedudukan orangtua dalam adat. Jika belum menikah maka kedudukan orangtua dalam adat tidak dapat dilanjutkan atau diwariskan. Kelima, untuk menyelesaikan permusuhan antar kampung. Pada zaman dahulu sering terjadi peperangan antar kampung, maka dengan adanya pernikahan di antara anak orang-orang terpandang (Salawa), permusuhan akan usai.

Referensi

M. Hammerle, Johanes. 1999. Niduno-duno ba Nori Onolalu. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias.

M. Hammerle, Johanes. 2015. Sejarah Gereja Katolik Di Pulau Nias. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias.

Detianus Gea, Silvester, dkk. 2018. Mengenal Budaya dan Kearifan Lokal Suku Nias. Labuan Bajo: YAKOMINDO.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline