Tradisi tandu bagi masyarakat Nias adalah tradisi yang pada umumnya digunakan untuk menandu pengantin perempuan (Ni'owalu/Bene'o). Menandu pengantin perempuan dalam budaya Nias adalah bentuk penghargaan terhadap perempuan yang "menjaga diri", menjaga kehormatan keluarga dan kerabat. Oleh sebab itu budaya menandu (tandu) bagi masyarakat Nias adalah bentuk penghormatan tertinggi. Sebaliknya, dalam Tradisi Nias, seorang perempuan yang tidak "menjaga diri" akan dinikahkan secara paksa. Bahkan pengantin perempuan tidak lagi ditandu melainkan jalan kaki dan melewati pintu dapur. Pengantin perempuan malahan mendapat cela karena aib tersebut.
Pada masa lampau, menurut tatanan adat, ketika seseorang menyandang gelar Balugu melalui suatu pesta besar (owasa), maka dia akan ditandu dan diarak keliling kampung. Tindakan itu sebagai wujud penghormatan dan penghargaan sebagai tokoh adat yang dibanggakan karena telah melalui tingkatan gelar dalam adat (bosi hada). Begitulah latar belakang mengapa sebagaian masyarakat Nias selalu menandu orang yang dianggap terhormat. Demikian juga yang dilakukan oleh umat Katolik ketika menyambut Uskup Mgr. Fransiskus Tuaman Sinaga. Umat Katolik mengaplikasikan atau menghidupkan kembali budaya tersebut.
Seperti diketahui, banyak orang yang pro dan kontra terkait penyambutan Uskup Sibolga. Pro dan kontra memang hal yang wajar sebab tidak semua orang memahami dan mengenal tradisi menandu orang-orang yang dihormati. Tentu saja pihak yang kontra memahami tradisi secara sempit bahkan mungkin mempertentangkan dengan iman. Karena bagi mereka ketika tradisi memasuki ranah keagamaan dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan iman. Padahal mereka tidak tahu bahwa Gereja Katolik menghargai dan menghormati tradisi setiap suku bangsa. Oleh sebab itu, tradisi Nias yang memeriahkan kedatangan uskup Sibolga di Nias sesungguhnya tidak masuk pada ranah liturgy, karena dilaksanakan di luar gedung gereja. Sejauh tradisi itu tidak bertentangan dengan iman, maka tidak salah. Justru Gereja Katolik dalam berbagai dokumen gereja menjelaskan bahwa kehadiran gereja untuk membawa kabar sukacita. Oleh sebab itu, Gereja menghormati dan melestarikan tradisi setiap tempat agar tetap utuh dan tidak pudar (inkulturasi).
Menurut saya, orang-orang yang kontra adalah mereka yang menganggap acara penyambutan Uskup sebagai bentuk penyembahan (peninggian manusia). Bahkan mereka mengutip ayat ketika Yesus mencuci kaki para murid, lalu mereka mengatakan "Yesus saja tidak ditandu, melainkan merendahkan diri dengan mencuci kaki para muridnya." Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak bisa membedakan penghormatan dan penyembahan (Latria dan dulia relatif). Seharusnya pihak kontra perlu mempelajari makna dan intensi dari penyambutan uskup Mgr. Fransiskus Tuaman Sinaga. Gereja Katolik melestarikan tradisi dalam kegiatan keagamaan (inkultrasi). Gereja lain non-Katolik sebenarnya dapat menyambut pemimpin mereka dengan tandu. Stop perdebatan, mari kita merenungkan dan mendalami arti dari budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur suku Nias.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H