Lihat ke Halaman Asli

Berkaca dari Sosok Soekarno

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ternyata Menjadi Pemimpin tidak Mudah”

“Semakin tinggi pohon, maka anginpun semakin hebat menghantamnya”, seperti itulah pengibaratan seorang Soekarno. Terutama pada saat-saat perpolitikan nasional menuai banyak kontroversi pasca kemerdekaan RI 1945. Setelah dijajah oleh negara-negara asing akhirnya Indonesia diakui kedaulatannya oleh negara lain. Namun boleh dibilang pada saat itukemerdekaan belum sepenuhnya tercapai, sedikitnya 3 partai terbesar saat itu: PNI (Partai Nasionalis Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), dan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) banyak berpengaruh di tubuh pemerintahan, belum lagi ditambah beberapa tokoh dan partai lain. Dari masing-masing tokoh dan partai ini entah karena ideologi berbeda atau ada unsur politik lainnya saling memperebutkan kekuasaan berupa invasi ke dalam lembaga-lembaga negara maupun sesama partai, bahkan PKI sampai melakukan usaha-usaha kudeta terhadap pemerintahan. Ironisnya,bukan hanya orang partai yang berambisi, pihak militerpun mengadakan ‘gerakan tambahan’ tanpa instruksi dari komando utama. Mungkin masing-masing mereka merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya saat itu, termasuk Soekarno.

PKI yang terkenal dengan pahamnya yang paling kontroversial mempunyai alasan tersendiri sehingga melakukan gerakan-gerakan yang identik dengan pengkhianatan, mereka secara intensif berusaha menyiarkan doktrin komunis ke pelbagai elemen masyarakat, karena menurut mereka komunisme adalah paham yang harus dipakai oleh Indonesia. Melihat gerakan PKI ini, Masyumi, beberapa tokoh PNI dan pihak militer menolak, bahkan pihak Amerika/CIA merasa khawatir dengan gerakan PKI ini. TNI AD yang membuat Dewan Jenderal yang terdiri dari beberapa jenderal tertinggi untuk menggagalkan misi PKI. Perlu diketahui, Soekarno selaku presiden menjalin hubungan akrab dengan PKI.Di sela konflik PKI dengan yang lain, dikabarkan Soeharto menjadi pihak independen yang kontra terhadap PKI, Soekarno, dan bahkan beberapa jendral teras TNI AD yang pro Soekarno. Soeharto diduga bisa menghentikan Gerakan 30 Septemper 1965 itu, tetapi dia lebih memilih menjadikannya alat untuk melengserkan Soekarno dan memberantas PKI.

Hal ini membuat masalah makin rumit, posisi Soekarno seakan-akan menjadi penyebab pertikaian antara berbagai pihak itu. Kesan yang didapatkan juga bahwa Soekarno sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi tidak bisa menyelesaikan masalah bawahannya. Bahkan dari beberapa sumber Soekarno dinilai lemah lembut dalam menyikapinya. Tapi sungguh tidak adil jika kita menganggapnya demikian. Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) adalah manifesto politik yang disuarakan oleh Soekarno sebagai wujud kecintaannya terhadap persatuan dan kesatuan. Tidak memandang ideologi apa yang melatarinya. Pancasila sebagai gagasan bersama – tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Soekarno adalah pencetusnya – pada saat itu tidak sesakral sekarang sifatnya, berkat kerja keras beliau dibantu tokoh-tokoh yang lain maka kesakralan Pancasila tidak ada yang meragukannya. Karena beliau Indonesia dijuluki sebagai ‘Macan Asia’ juga karena rasa terhinanya beliau akibat lambang negara kita diinjak-injak oleh Malaysia, beliau memberanikan diri keluar dari PBB dan mengganyang Malaysia.

Kondisi perpolitikan Indonesia pada saat itu benar-benar terpuruk, belum lama pulih dari penjajahan, segelintir pribumi egois menjadi pengkhianat negara. Entah apa yang merasuki mereka. Yang memperjuangkan kemerdekaan bukan satu dua orang atau partai, tapi seluruh elemen masyarakat ikut serta dalam perjuangan. Bukan bermaksud untuk mengategorikan Soekarno sebagai tokoh protagonis dan yang lainnya adalah tokoh antagonis. Tetapi jikalau semua pihak bersatu demi negara dan masyarakatnya tentu G 30 S tidak pernah terjadi.

Pada zaman sekarang kondisi serupa bukan tidak terjadi. Sekarang kita tidak sedang berperang melawan penjajah, tidak dituntut untuk memegang senjata. Tapi kita seakan lupa dengan semua itu, kita sekarang buta dan tuli. Lupakah kita akan perjuangan para pahlawan dulu yang rela mengorbankan jiwa raga mereka, istri mereka, anak mereka, orangtua mereka, dan semua yang mereka cintai demi kemerdekaan yang justru kita yang menikmatinya. Coba kita amati, Indonesia belum cukup merasakan kemerdekaan, sekarang juga kita nyalakan Tv dan lihatlah berita yang muncul, maka kita akan sadar kita hidup diatas tanah yang penuh kemelaratan.

Dan lihatlah, mahasiswa yang katanya pejuang-pejuang muda yang memegang titel agen of change, kebanyakan memilih demonstrasi menjadi hobi bahkan mata pencaharian. Dengan menjadikan ‘soekarno-soekarno’ lainnya bahan cacian dijalanan tanpa melihat dengan hati nurani bahwa sebenarnya ‘dia’ sudah berfikir dan bekerja keras demi bangsa dan negara. Kita hanya melihat secara parsial dari kasus-kasus yang dilakukan satu-dua orang lalu menaruh label “koruptor” pada hampir semua pejabat negara. Banyak pemimpin yang posisinya seperti ‘Soekarno’ yang dijadikan tujuan caci maki. Seandainya kita berada pada posisi ‘Soekarno’ saat itu tentu kita akan merasa kecewa dan serba salah. Terutama bagi sebagian mahasiswa yang sok kritis yang menjustifikasi pemimpin dengan orasinya “bla, bla, bla” tanpa bisa benar-benar memberikan solusi. Pada masa kini sebenarnya siapakah ‘Soekarno’nya dan siapakah ‘PKI’nya?. (DF)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline