Kemunculan sinar matahari kalah cepat dengan kemunculanku di depan cermin untuk bersiap. Selepas menyelesaikan riasan sederhana, satu persatu barang yang akan kubawa segera kutata di dalam tas selempang hitam favoritku. Perjalanan kali ini cukup spesial karena aku bersama rekan-rekan berkesempatan untuk menelusuri salah satu kawasan di kaki Gunung Merapi.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, tanpa berlama-lama kami pun bergegas menuju lokasi yang akan kami tuju dengan kendaraan masing-masing. Dari titik kumpul yang berada di pinggir Kota Yogyakarta, kami beriringan menuju salah satu jalan yang sangat familiar bagi warga Yogyakarta, yakni Jakal atau Jalan Kaliurang.
Puluhan menit pertama perjalanan cukup lancar meski beberapa kali terhenti karena lampu merah. Suasana sepanjang jalan pun tak jauh berbeda dengan yang biasa kami lihat sehari-hari. Namun, seiring dengan menanjak dan menyempitnya jalan yang kami lalui perubahan suasana pun mulai terjadi sedikit demi sedikit. Angin yang membawa hawa dingin mulai berhembus berkebalikan dengan sinar mentari yang semakin memancar.
Beragamnya bangunan yang sedari tadi menghiasi sisi-sisi jalan mulai digantikan oleh persawahan yang membentang serta pepohonan rindang yang bergoyang gemulai mengikuti arah tiupan angin. Daun-daun kering pun tampak terombang-ambing sebelum pada akhirnya jatuh di atas aspal hitam. Tak terasa 45 menit sudah waktu yang kami tempuh untuk menginjakkan kaki di sini, tepatnya di Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rumah joglo lawas beraksen bata dan kayu yang berdiri kokoh di tengah pelataran tanah berumput seolah menyambut. Kurasakan atmosfer di sini jauh lebih tenang khas pedesaan. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Agaknya kedatangan kami terlalu awal terbukti dari pintu yang masih terkunci. Kami menunggu seraya memperhatikan sekitar. Bangunan ini dikelilingi oleh pepohonan berjarak cukup jauh dari rumah-rumah warga. Tanaman bambu tampak mendominasi di sini. Bahkan digunakan sebagai pagar hidup yang membatasi halaman dengan jalan beraspal. Berbagai jenis tanaman hias, mulai dari rerumputan hingga bunga warna-warni tumbuh subur.
Samar-samar terdengar suara bebek yang semakin mendekat. Benar saja, empat ekor bebek berbulu putih muncul berjalan dengan santainya. Seekor ayam jago juga tampak sedang mencari makan di sekitar pelataran ini. Tak lama seorang lelaki menemui kami setelah membuka pintu dari dalam joglo itu. "Mari Mas dan Mbak. Silakan masuk dan selamat datang di Suara Dewandaru!" ujarnya. Setelah kami masuk dan dipersilakan untuk duduk, kami berkenalan singkat satu per satu. Berbagai suguhan juga diberikan untuk menemani obrolan basa-basi kami. Kemudian, Mas Ade, sebagai perwakilan pihak Suara Dewandaru yang menyambut kedatangan kami tadi, mengajak kami untuk berkeliling seraya menceritakan hal-hal menarik dari tempat ini.
Kisah awal mula berdirinya tempat ini menjadi cerita pembuka perjalanan kami. Terinspirasi dari sebuah coffee shop di Jepang, Suara Dewandaru mengusung konsep listening cafe yang mampu memenuhi seluruh sensory experience para pelanggannya. Kafe ini berhasil memadupadankan ide yang dibawanya dari luar tanpa menghilangkan keindahan seni dan budaya lokal sehingga menciptakan ciri khas yang autentik. Suara Dewandaru diinisiasi oleh satu keluarga bersama bantuan dari beberapa rekan. Berdirinya kafe ini sebenarnya telah menjadi angan-angan sang pemilik sejak lama.
Hadirnya pandemi menuntut angan-angan itu terealisasikan lebih cepat dari yang dibayangkan karena mengakibatkan sang pemilik yang berprofesi sebagai produser musik dan DJ kehilangan pekerjaannya. Pada awal berdirinya, kafe ini hanya menawarkan aneka minuman berbasis kopi. Namun, seiring melejitnya Suara Dewandaru di kalangan pecinta kopi dan musik, beragam menu baru pun ditawarkan.
"Ada cerita dibalik nama kafe ini," Mas Ade menambahkan penjelasannya. Suara Dewandaru berasal dari dua kata. Kata "suara" menggambarkan konsep listening cafe yang dimiliki. Sedangkan, kata "dewandaru" diambil dari nama salah satu tanaman yang tumbuh subur di tempat itu. Konon pohon dewandaru termasuk tanaman langka dan dipercaya memiliki kekuatan sakti.
Menurut mitos yang beredar menyatakan bahwa barang siapa yang mendapati buah dewandaru jatuh di telapak tangan ketika sedang bersemedi di bawah pohon dewandaru niscaya akan memperoleh kekayaan. Dari situlah pemilik semakin yakin untuk menggunakannya sebagai nama kafe. Bahkan, buah dewandaru pun diolah menjadi seasonal dish mengingat buahnya yang bersifat musiman. Salah satu menu andalan yang ditawarkan, yakni Bir Matraman dan beragam jenis mocktail. Di samping itu, menu-menu lain pun memiliki nama tak kalah unik yang sebagian besar diambil dari judul lagu dan nama penyanyi jazz dan bossanova.