Lihat ke Halaman Asli

Dwi Furqoni Irawan

Universitas Airlangga

Illusion of Progress: Baca Buku Self-Improvement Tapi Tidak Pernah Berkembang?

Diperbarui: 5 Juli 2022   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sudah pernahkah Anda membaca buku bertemakan self-improvement atau self-help? Berapa banyak buku yang sudah Anda baca? Sudahkah Anda melihat perubahan yang lebih baik dalam diri Anda setelah membaca buku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pembuka sekaligus rangkuman mengenai apa yang akan kita bahas pada tulisan ini, yaitu dampak negatif dari kecanduan buku motivasi diri yang ternyata tidak memberikan perubahan apapun bagi si pembaca.

Self-improvement atau self-help atau self-development merupakan suatu metode pengembangan diri yang dilakukan dari diri sendiri. Artinya, kita mecari produk self-improvement agar bisa mengembangkan potensi diri kita. Tujuan utama kita melakukan metode ini adalah untuk mendapatkan solusi dari masalah yang mungkin berasal dari kita sendiri sehingga kitab isa menjadi pribadi yang lebih baik. Metode ini sangat erat dikaitkan dengan isu kesehatan mental yang akhir-akhir ini mendapat sorotan luar biasa. Tak heran, permasalahan kesehatan mental kerap kali menjadi penghambat seseorang dalam berkembang di dunia yang sangat kompleks ini.

Menurut Forbes, 94% generasi milenial sangat paham akan pentingnya self-improvement bahkan rela menghabiskan uang atau menginvestasikan uang dalam jumlah yang besar untuk membeli produk self-improvement. Produk self-help ini ada banyak macam, misalnya buku, konten digital atau video di berbagai platform media sosial, konsultasi bersama psikolog, dll. Namun, pertanyaannya adalah dengan presentasi generasi milenial yang sadar akan hal tersebut, mengapa masih banyak juga dari mereka yang masih kesulitan untuk menemukan jati diri atau belum sukses atau tidak ada perkembangan?

Ada teori yang disebut sebagai transtheoretical model yang dikembangkan di tahun 1970-an untuk metode psikoterapi. Teori ini memberikan gambaran kesiapan individu dalam melakukan pengembangan diri dengan konsep 'The Stages of Change'. Perubahan pada diri manusia terjadi setelah melalui beberapa tahap: prekontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, pembiasaan, dan terminasi (akhiran). Membeli produk self-love saja artinya kita baru berada di tahap kontemplasi atau persiapan saja. Begitu pula ketika kita membaca buku motivasi atau melihat video yang berisikan ajakan-ajakan untuk merubah diri. Pembaca masih belum memasuki tahap aksi untuk benar-benar merealisasikan informasi yang ia dapatkan. Oleh karena itu, masalah utamanya tidak pada produk atau konten self-love itu, meskipun tidak menutup kemungkinan masih ada konten yang toxic dan tidak realistis, tetapi pada pengguna yang belum menjadikan informasinya sebagai aksi nyata.

Metode self-improvement bisa dikatakan sebagai pisau bermata dua. Metode ini bisa sangat membantu menyelesaikan apa yang menjadi pertanyaan dalam hidup kita selama ini dan memberikan solusi nyata. Namun, self-help juga bisa menjadi bumerang jika tidak dijalankan dan hanya menjadi placebo effect. Pada akhirnya, orang-orang yang memanfaatkan produk self-help bisa saja mendapatkan illusion of progress, yaitu perasaan di mana mereka seolah-olah telah berprogres atau berkembang karena memanfaatkan produk tersebut padahal belum melakukan aksi apa-apa yang benar dapat mengembangkan protensi mereka. Itulah risiko yang kemudian harus dihadapi ketika kita memanfaatkan produk self-improvement

Beberapa cara yang bisa kita lakukan agar terhindar dari risiko tersebut adalah:

  1. Lakukan riset atau penelitian yang lebih dalam untuk memastikan konten yang didapatkan valid. Setidaknya pembaca buku atau pendengar podcast harus memastikan bahwa informasi yang diberikan saintifik dan realistis serta masuk akal. Dengan demikian, arus informasi yang salah bisa segera terhindar dan tidak memberikan efek yang lebih tidak berguna di tahap selanjutnya. Akan sangat disayangkan jika kita berusaha keras untuk melakukan aksi dari informasi yang tidak realistis, sampai kapan pun tidak akan berhasil untuk diterapkan.
  2. Pahami langkah-langkah dalam perubahan. Dalam hal ini, kita juga perlu untuk memahami diri sendiri. Sudah berada di tahap manakah kita saat ini? Jika kita masih berproses dengan mengikuti webinar, membaca buku, dan menonton video self-help, artinya kita belum melangkah lagi sebagai realisasi. Ketika dirasa sudah mendapatkan cukup informasi, cobalah untuk segera melakukannya agar tidak stuck di posisi yang sama.
  3. Jangan hanya belajar mengenai self-improvement saja. Bukan berarti self-improvement atau self-help tidak relevan atau efektif lagi. Hanya saja masih banyak sekali skill yang masih bisa dipelajari untuk menunjang kualitas hidup, misalnya skill komunikasi, kepemimpinan, pengelolaan keuangan, bisnis, dll. Bisa jadi apa dengan mengembangkan skill tersebut, informasi yang sebenarnya dicari bisa didapatkan dengan lebih mudah. Tidak semua solusi ada pada self-help.

Sekali lagi ditekankan bahwa self-improvement adalah metode masih sangat efektif dan dapat membantu dalam proses pengembangan diri. Namun, perlu diingat bahwa kecanduan produk industri ini tetap memberikan dampak negatif yang malah menyia-nyiakan waktu, tenaga, dan uang. Pentingnya bersikap kritis terhadap informasi apapun yang kita dapat serta realisasi informasi di kehidupan nyata merupakan kunci agar kita tetap bisa terus berkembang dengan maupun tanpa produk-produk self-improvement.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline